Ambisi Korea Utara (Korut) dalam mengembangkan senjata nuklir mengancam stabilitas regional serta melemahkan inisiatif nonproliferasi global. Oleh karena itu, PBB dan komunitas internasional terus berupaya mewujudkan denuklirisasi Korut melalui diplomasi dan sanksi. Namun, Pyongyang tetap bersikeras melanjutkan program senjata nuklir, termasuk mengembangkan Rudal balistik antar benua (Intercontinental Ballistic Missile/ICBM). Sikap tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa Korut akan semakin agresif dalam menanggapi apa pun yang mereka persepsikan sebagai ancaman terhadap kelangsungan rezim.
Perkembangan kemampuan senjata nuklir Korut mendapat tanggapan serius dari Amerika Serikat (AS) dan sekutunya di kawasan, yakni Korea Selatan (Korsel) dan Jepang, dengan memperkuat deteren militer berupa kemampuan untuk melakukan serangan militer masif dan terukur, yang dapat melumpuhkan kapabilitas nuklir Korut, sekaligus menumbangkan dinasti Kim. Ancaman eksistensial tersebut diharapkan cukup untuk mencegah Pyongyang melakukan provokasi atau eskalasi nuklir.
Perkembangan Senjata Nuklir Korea Utara
Korut telah melaksanakan enam uji ledak nuklir, dan setiap kali menunjukkan peningkatan daya ledak (Yield). Uji coba pertama dilakukan pada tahun 2006 dengan estimasi daya ledak sekitar 1 hingga 2 kiloton (kt). Tiga tahun kemudian, pada 2009, uji kedua menunjukkan peningkatan dengan ledakan berkekuatan 2,4 hingga 5 kt. Pada uji ketiga tahun 2013, kekuatan ledaknya naik menjadi sekitar 6 hingga 10 kt. Kemudian, pada tahun 2016, Korea Utara melangsungkan dua uji coba terpisah, yang pertama memiliki daya ledak 7 hingga 15 kt, sementara yang kedua berkekuatan lebih besar, sekitar 12 hingga 25 kt. Puncak dari peningkatan ini terjadi pada uji coba keenam di tahun 2017, ketika kekuatan ledak nuklirnya melonjak drastis hingga mencapai 100 hingga 250 kt, menandakan perkembangan yang signifikan dalam kemampuan nuklir negara tersebut.
Korut juga terus mengembangkan ICBM sebagai platform pembawa hulu ledak nuklir. Korea Utara telah melakukan serangkaian uji coba rudal balistik antarbenua (ICBM) dengan jarak jangkau yang semakin meningkat. Uji coba pertama untuk rudal Hwasong-13 dilakukan pada tahun 2016, dengan jarak tempuh antara 3.500 hingga 7.500 kilometer. Setahun kemudian, pada 2017, Korea Utara menguji Hwasong-12, yang memiliki jangkauan antara 3.500 hingga 6.000 kilometer. Di tahun yang sama, rudal Hwasong-14 diuji dengan jangkauan yang jauh lebih besar, mencapai hingga 10.000 kilometer, diikuti oleh Hwasong-15 yang mampu menjangkau 13.000 kilometer. Pada tahun 2022, rudal Hwasong-17 diuji dengan jangkauan maksimal 15.000 kilometer, diikuti oleh Hwasong-18 pada tahun 2023 yang juga memiliki jangkauan hingga 15.000 kilometer. Perkembangan ini menunjukkan kemajuan signifikan dalam kapabilitas rudal balistik Korea Utara, yang semakin mampu menjangkau target jauh, termasuk wilayah Amerika Serikat.
Hwasong-12 dan Hwasong-13 adalah rudal balistik pertama Korut yang mampu menjangkau instalasi militer AS di Guam. Hwasong-14 merupakan lompatan kapabilitas signifikan karena mampu mencapai pesisir barat AS, sedangkan Hwasong-15 dapat menjangkau hampir seluruh wilayah AS. Uji peluncuran kedua ICBM tersebut memicu krisis Korut 2017-2018. Rudal Hwasong-17 dan Hwasong-18 memiliki jangkauan global dan mampu mencapai seluruh wilayah AS.
Hwasong-15, Hwasong-17, dan Hwasong-18 dapat dilengkapi dengan Multiple Independently Targetable Re-entry Vehicle (MIRV), sehingga memungkinkan satu rudal untuk menyerang beberapa target secara simultan sekaligus mempersulit upaya penangkalan oleh musuh. Hwasong-18 merupakan ICBM pertama Korut yang menggunakan propelan jenis padat yang memungkinkan persiapan peluncuran yang lebih cepat sehingga lebih sulit diantisipasi oleh musuh.
Sebagian besar Rudal balistik Korut diluncurkan menggunakan Transporter Erector Launcher (TEL), sehingga memiliki mobilitas tinggi dan lokasi peluncuran yang fleksibel. Selain itu, dengan peluncur mobile TEL, ICBM Korut menjadi lebih sulit dideteksi dan diprediksi.
Meskipun kemampuan senjata nuklir Korut terus berkembang, kekuatan konvensional mereka mengalami stagnasi akibat kurangnya modernisasi sekalipun memiliki pasukan aktif dalam jumlah besar. Sebagian besar peralatan tempur konvensional milik Korut, seperti pesawat tempur, sistem pertahanan udara, dan artileri merupakan peninggalan era Uni Soviet yang sudah tertinggal jauh jika dibandingkan dengan Korsel. Kesenjangan ini merupakan keuntungan strategis bagi upaya deteren AS dan sekutu.
Deteren Militer