Mohon tunggu...
Eka Novita Sari
Eka Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Intitut Agama Islam Negeri Kudus

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Breaking Gender Stereotypes: Membangun Komunikasi Keluarga yang Seimbang dan Harmonis

3 Desember 2024   15:40 Diperbarui: 3 Desember 2024   15:46 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Wikipedia.org

Oleh: Lu'lu'ah Mufidah, Eka Novita Sari, Muhammad Zulfan Franklin

Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berhubungan dengan manusia lain (Aristoteles). Komunikasi memungkinkan kita menyampaikan informasi, ide, dan pengetahuan, serta menerima hal serupa dari orang lain. Melalui komunikasi, manusia tumbuh, berkembang, dan menjalani hidup, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Dalam keluarga, komunikasi sangat dipengaruhi oleh peran gender yang ada. Setiap anggota keluarga membawa norma dan harapan berdasarkan jenis kelamin mereka, yang memengaruhi cara mereka berinteraksi. Pada banyak keluarga, pola komunikasi ini masih dipengaruhi oleh stereotip tradisional mengenai peran yang seharusnya dilakukan oleh pria dan wanita.

Komunikasi keluarga tidak hanya sekadar berbicara, tetapi juga melibatkan pemahaman, berbagi sudut pandang, timbal balik, negosiasi, dan mediasi. Dengan  demikian, komunikasi menjadi lebih bermakna dan efektif. Komunikasi dalam keluarga umumnya berjalan dua arah, bisa dari orang tua ke anak, anak ke orang tua, atau antar saudara. Komunikasi ini biasanya dimulai karena ada pesan yang ingin disampaikan. Pola komunikasi yang terbentuk dalam keluarga memiliki pengaruh besar terhadap cara orang tua mengasuh anak. Jika pola komunikasinya baik, pola asuh yang diterapkan biasanya juga lebih baik. Pola asuh orang tua sangat penting dalam mendidik anak, dan pengasuhan akan berjalan lebih baik jika komunikasi tersebut penuh cinta dan kasih sayang.

Anak harus diperlakukan sebagai subjek yang dibimbing, dididik, dan diarahkan, bukan sekadar objek. Dalam keluarga, ayah umumnya diidentikkan dengan peran sebagai pencari nafkah dan pengambil keputusan utama, sementara ibu lebih sering dianggap sebagai pengasuh yang mengatur kehidupan rumah tangga. Namun, perubahan sosial dan budaya dalam beberapa dekade terakhir mulai menggeser pola komunikasi ini. Banyak pria kini turut terlibat dalam pekerjaan rumah tangga, sementara wanita juga semakin aktif di dunia kerja. Perubahan ini menciptakan dinamika baru dalam keluarga yang mempengaruhi cara setiap anggota berkomunikasi dan bekerja sama (Ayu, 2024).

Komunikasi dalam keluarga tidak hanya melibatkan kata-kata, tetapi juga cara-cara nonverbal. Ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan cara berpakaian turut berperan dalam menyampaikan pesan, yang sering kali dipengaruhi oleh norma-norma gender. Misalnya, dalam beberapa budaya, pria mungkin merasa lebih enggan untuk menunjukkan perasaan mereka secara terbuka, sementara wanita lebih bebas mengekspresikan emosi.

Perbedaan komunikasi ini sering menimbulkan kesalahpahaman, terutama saat terjadi konflik. Misalnya, seorang ibu mungkin merasa bahwa suaminya tidak peduli ketika ia tidak memberikan perhatian pada masalah rumah tangga. Sebaliknya, sang ayah mungkin merasa bahwa istri terlalu emosional dalam menghadapi masalah tersebut. Perbedaan ini dapat memperburuk ketegangan, kecuali jika ada pemahaman yang lebih baik tentang perspektif masing-masing.

Penting bagi pasangan dalam keluarga untuk saling mendengarkan dan menghargai cara berkomunikasi masing-masing. Memahami perbedaan gender ini dapat membantu menciptakan komunikasi yang lebih efektif dan harmonis. Ketika pola komunikasi yang lebih seimbang diterapkan, hubungan dalam keluarga pun akan semakin kuat.

Selain itu, komunikasi antaranggota keluarga tidak hanya dipengaruhi oleh gender, tetapi juga oleh usia. Misalnya, anak-anak cenderung lebih terbuka dalam menyampaikan perasaan mereka kepada ibu, sementara ayah mungkin memiliki pendekatan yang lebih rasional. Hal ini berkaitan dengan cara-cara orangtua membentuk hubungan dengan anak-anak mereka sejak dini.

Stereotip gender yang masih ada dalam masyarakat juga dapat memengaruhi cara komunikasi dalam keluarga. Misalnya, dalam beberapa kasus, seorang anak perempuan mungkin merasa kurang dihargai ketika ia ingin berbicara tentang topik-topik yang dianggap "maskulin", seperti olahraga atau karier. Sebaliknya, anak laki-laki mungkin merasa kesulitan untuk mengungkapkan perasaan mereka karena takut dianggap "lemah" atau "tidak maskulin".

Pola komunikasi yang sehat dalam keluarga seharusnya memungkinkan setiap anggota untuk merasa didengar, tanpa dibatasi oleh peran gender. Dengan semakin terbukanya wawasan tentang kesetaraan gender, diharapkan pola komunikasi yang lebih inklusif dapat berkembang. Setiap anggota keluarga, baik laki-laki maupun perempuan, dapat berkomunikasi dengan lebih terbuka dan saling mendukung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun