Mohon tunggu...
Ekamara Ananami Putra
Ekamara Ananami Putra Mohon Tunggu... Administrasi - Indonesian

Seorang Insan yang Cita-citanya Terlalu Tinggi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Agar HMI Tak Menjadi Gerbong Tua

28 Maret 2021   17:14 Diperbarui: 28 Maret 2021   17:18 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sekitar 2 bulan yang lalu saya mendapat kabar dari Raihan, bahwa ia akan maju sebagai calon ketua umum (Ketum) Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) dalam Kongres ke-31 di Surabaya. Kabar tersebut sontak membuat saya kaget. Raihan Ariatama, teman seangkatan di Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM. Teman sepergaulan di Jamaah Muslim Fisipol UGM. Teman sepengabdian di BEM KM UGM. Dan, tentu saja teman seperjuangan di HMI itu, ternyata berniat menuju titik puncak karier sebagai seorang kader HMI.

Dari lubuk hati saya yang paling dalam, tentu saya amat gembira mendengar kabar tersebut. Selama 6 tahun kami berkarib di Jogja, hampir setiap hari kami berinteraksi karena sejak masuk kuliah sampai diwisuda, riwayat organisasi yang kami ikuti di kampus nyaris semuanya sama. 

Dengan tangan dinginnya, Raihan berhasil menjalankan berbagai amanah yang diembannya, termasuk saat mengomandani HMI Cabang Bulaksumur Sleman. Bahkan bagi saya pribadi, Raihan adalah salah satu orang yang sangat berjasa membantu saya selama di Jogja. Teman-teman yang mengenal kami berdua pasti sangat mafhum apa jasa besar Raihan bagi saya.

Tetapi kabar majunya Raihan itu juga membuat saya cemas atau bahkan sedikit ragu. Betapa tidak, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Kongres, Muktamar, Konferensi, Musyawarah Nasional, atau apapun sebutannya, merupakan arena aktualisasi politik tingkat tinggi dalam sebuah organisasi. Sering orang awam menganggap perilaku culas, licik dan penuh intrik, adalah sisi buruk yang hampir tak bisa dihindari dalam semua hajatan politik, termasuk dalam organisasi mahasiswa seperti HMI sekalipun.

Apa mungkin, Raihan, sosok yang saya dan semua orang yang mengenalnya dikenal sangat tenang, kalem, bahkan irit bicara itu dapat menghadapi dinamika dan kejamnya Kongres. Apa mungkin, seorang kader Bulaksumur, didikan Gadjah Mada, yang sangat santun dalam berpolitik dengan modal terbesarnya adalah intelektualitas itu dapat menang dalam Kongres yang kapasitas intelektual seorang calon bukan penentu utama kemenangan. 

Apa mungkin, seseorang dengan jaringan politik yang minim, tidak popular bagi banyak kader, pendatang baru di PB dengan jabatan yang biasa-biasa saja itu, dapat melampaui calon-calon lain yang lebih senior, terkenal dan punya jaringan politik yang luas. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu menghantui saya, membayangkan bagaimana Raihan dapat melewati keseluruhan proses pertarungan ini.

Tetapi keputusan sudah bulat dan tekad sudah kuat. Satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah mendukungnya sepenuh hati. Dan tentu, dukungan terbesar yang bisa saya berikan adalah dukungan moral disertai doa agar Raihan dapat mencapai tujuannya. Sebagai seorang sahabat yang juga masih berjuang dalam kehidupannya sendiri, tidak ada dukungan yang lebih pantas yang dapat saya berikan kepada Raihan selain dukungan moral dan doa tersebut. Pun dalam perjalanan menuju Kongres sesekali saya komunikasi dengan Raihan untuk selalu memberikan semangat dan doa untuknya.

Hari Kamis, 25 Maret, sejak pagi sampai siang saya terus memantau siaran langsung pemungutan suara pemilihan Formatuer/Ketum di suatu kanal streaming online. Saat saya jeda untuk salat dzuhur, suara untuk Raihan sudah di atas angin, sedikit tambahan suara lagi pasti ia akan menang telak. Persis setelah salat dzuhur sekitar pukul 13.00 WIB, alhamdulillah saya menerima kabar kemenangan Raihan. Perasaan saya langsung campur aduk, gembira, sedih, haru, dan lagi-lagi cemas. Untuk pertama kalinya sejak HMI didirikan di Yogyakarta, ada Ketum PB HMI yang berasal dari UGM.

Kemenangan ini seketika terasa membawa angin segar, memunculkan secercah sinar harapan akan wajah HMI paling tidak dalam 2 tahun ke depan. Sebagian pihak di HMI bahkan menganggap ini sebagai kemenangan poros intelektual. Inilah yang membuat saya cemas. Profil Raihan sebagai kader Bulaksumur, alumni UGM dan berdarah Minangkabau, membuat dirinya tampak sebagai aktivis HMI par excellence saat ini. Hal ini adalah tantangan dan tanggung jawab berat yang harus dipikul Raihan ke depan. Apakah Raihan dalam waktu yang relatif singkat, 2 tahun, dapat membawa perubahan bagi HMI seperti yang ia janjikan sekaligus banyak orang harapkan.

Sudah banyak kajian tentang organisasi kemahasiswaan seperti HMI disebut mengalami disoerientasi dan penuh kebimbangan pada era pasca reformasi ini. Rezim politik, tatanan pemerintahan dan struktur sosio-ekonomi masyarakat, sepenuhnya telah berubah dan merubah dinamika sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat itu sendiri. 

Perubahan ini dipertajam dengan munculnya fenomena disrupsi teknologi akibat Revolusi Industri 4.0 yang membuat organisasi kemahasiswaan semakin gagap menghadapi perubahan. Tidak heran jika semangat Empowering HMI dengan 4 program prioritas (Digital, Kewirausaahan, Pemberdayaan dan Kebangsaan) yang ditawarkan Raihan disambut baik banyak pihak karena sangat relevan dengan tantangan yang dihadapi korps hijau hitam saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun