Pagi itu, kelas tampak riuh. Saya yang baru tiba di sekolah, mencari sumber suara. Betapa bahagianya, saya melihat anak-anak di kelas 2 tempat saya menjadi wali kelas sedang bermain karet. Permainan yang mungkin jarang sekali dijumpai di perkotaan.
Permainan ini sederhana. Ada dua orang bermain yang berposisi lawan. Tugas mereka adalah meniup karetnya, jika karet yang ditiup menimpa karet lawannya maka karet menjadi milik si pemenang. Nah, pagi itu, mereka sedang beradu pendapat bahwa sebenarnya dia tak kalah. Dengan mengucapkan bahasa daerah khas Lole, Rote. Saya mencoba menerka apa yang mereka ucapkan.
"Nah, bosong ada apa ni, baribut main karet?" tanya saya dengan memegang pundak Marvel.
"Pak guru, tadi itu ada main curang lae. Jadi, be kalah!" suara tegas Gerald yang tak mau kalah.
Sedikit melempar senyum. Saya mulai merasakan bahwa tanda-tanda "bahaya" (re: menangis), yang selalu menjadi makanan sehari-hari selama setahun menjadi relawan guru di sekolah tersebut.
Saya yang tertarik, mengalihkan perhatian mereka dengan mencoba untuk ikut main. Semua anak mulai merasakan hal keanehan, kenapa pak guru ikut main?
Benar saja, permainan ini menyenangkan sekali!
Ini adalah permainan pertama kali saya. Sebagai anak yang terlalu kota. Saya dan anak-anak sekarang sudah jarang sekali melakukan kegiatan outdoor activity yang sebenarnya lebih mengolah rasa, ketahanan tubuh, dan menguras keringatan ini lebih baik dibanding berjam-jam bermain gadget.
Kembalikan dunia bermain
Kurikulum pendidikan yang selalu berganti-ganti, rentetan ujian kenaikan kelas maupun ujian nasional selalu menjadi kecamuk yang dihadapi oleh anak-anak Indonesia. Saya punya pengalaman yang bikin stres dua kali lipat. Bayangkan saat, saya harus menghadapi rentetan 26 mata pelajaran dari ujian nasional, ujian sekolah, dan ujian pesantren. Hampir satu bulan, saya dibuat mual dengan segala ujian hafalan, ujian tulis maupun ujian lainnya. Setelahnya, saya bersyukur masih diberi kesehatan untuk melalui hal tersebut.
Menjadi soal, anak TK pun setidaknya sudah dapat mengeja huruf. Di sekolah dasar, ada seleksi membaca. Tentu tujuannya, mungkin agar di kelas 1, semua hal menjadi mudah untuk gurunya. Padahal, kemampuan membaca paling ideal atau sewajarnya sampai kelas 3 SD. Itulah, yang membuat saya tak begitu memaksakan anak kelas saya yang memang tak mau belajar. Bayangkan selama satu semester dia tak mau menulis dan membaca. Apa yang dilakukan?