Mohon tunggu...
Arsyad Iriansyah
Arsyad Iriansyah Mohon Tunggu... Administrasi - Pengalaman adalah guru, setiap orang adalah murid dan guru.

Arsyad Iriansyah sudah menyukai dunia blog atau menulis saat duduk di kelas 1 SMA. Blog pertamanya masih ada yaitu arsyadiriansyah.com . Lebih banyak menulis pengalamannya menjadi relawan guru, toleransi, kehidupan sehari-hari, dan tak jarang menulis hal serius tentang isu kebijakan publik. Selain itu, ia tidak lebih dari anak muda lainnya yang hanya ingin belajar, belajar dan belajar. Dapat dihubungi via surel arsyadiriansyah@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama FEATURED

Hari Anak Nasional dan Pulau Rote Ndao

23 Juli 2017   11:24 Diperbarui: 23 Juli 2018   23:42 1856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bermain di bukit dekat sekolah. Foto oleh Anjar

Pagi itu, kelas tampak riuh. Saya yang baru tiba di sekolah, mencari sumber suara. Betapa bahagianya, saya melihat anak-anak di kelas 2 tempat saya menjadi wali kelas sedang bermain karet. Permainan yang mungkin jarang sekali dijumpai di perkotaan.

Permainan ini sederhana. Ada dua orang bermain yang berposisi lawan. Tugas mereka adalah meniup karetnya, jika karet yang ditiup menimpa karet lawannya maka karet menjadi milik si pemenang. Nah, pagi itu, mereka sedang beradu pendapat bahwa sebenarnya dia tak kalah. Dengan mengucapkan bahasa daerah khas Lole, Rote. Saya mencoba menerka apa yang mereka ucapkan.

"Nah, bosong ada apa ni, baribut main karet?" tanya saya dengan memegang pundak Marvel.

"Pak guru, tadi itu ada main curang lae. Jadi, be kalah!" suara tegas Gerald yang tak mau kalah.

Sedikit melempar senyum. Saya mulai merasakan bahwa tanda-tanda "bahaya" (re: menangis), yang selalu menjadi makanan sehari-hari selama setahun menjadi relawan guru di sekolah tersebut.

Saya yang tertarik, mengalihkan perhatian mereka dengan mencoba untuk ikut main. Semua anak mulai merasakan hal keanehan, kenapa pak guru ikut main?

Benar saja, permainan ini menyenangkan sekali!

Ini adalah permainan pertama kali saya. Sebagai anak yang terlalu kota. Saya dan anak-anak sekarang sudah jarang sekali melakukan kegiatan outdoor activity yang sebenarnya lebih mengolah rasa, ketahanan tubuh, dan menguras keringatan ini lebih baik dibanding berjam-jam bermain gadget.

Kembalikan dunia bermain

Kurikulum pendidikan yang selalu berganti-ganti, rentetan ujian kenaikan kelas maupun ujian nasional selalu menjadi kecamuk yang dihadapi oleh anak-anak Indonesia. Saya punya pengalaman yang bikin stres dua kali lipat. Bayangkan saat, saya harus menghadapi rentetan 26 mata pelajaran dari ujian nasional, ujian sekolah, dan ujian pesantren. Hampir satu bulan, saya dibuat mual dengan segala ujian hafalan, ujian tulis maupun ujian lainnya. Setelahnya, saya bersyukur masih diberi kesehatan untuk melalui hal tersebut.

Menjadi soal, anak TK pun setidaknya sudah dapat mengeja huruf. Di sekolah dasar, ada seleksi membaca. Tentu tujuannya, mungkin agar di kelas 1, semua hal menjadi mudah untuk gurunya. Padahal, kemampuan membaca paling ideal atau sewajarnya sampai kelas 3 SD. Itulah, yang membuat saya tak begitu memaksakan anak kelas saya yang memang tak mau belajar. Bayangkan selama satu semester dia tak mau menulis dan membaca. Apa yang dilakukan?

Saya memberikan kegiatan yang dia sukai. Pun, walaupun jumlah siswa adalah 23 anak. Saya melakukan pendampingan anak berdasarkan kemampuan mereka. Inti pelajarannya sama, hanya latihan soal akan berbeda sesuai kemampuan mereka. Ada yang suka gambar? Saya biarkan dia bercerita dengan menggambar. Potensi anak yang difasilitasi, tanpa dikekang akan melejit.

Anak-anak di Pulau Rote, tentu dapat mendefinisikan apa itu bermain. Saya senang sekali mereka punya macam permainan yang seru. Tak peduli handphone habis, karena memang di desa tak ada listrik. Mereka bahagia, karena bermain adalah ruh kehidupan.

Dukungan orang tua, paling utama

Fenomena perundungan, sudah bukan hal baru. Sejak kecil, saya juga menjadi korban perundungan. Berat tentu, melepaskan bayang-bayang perundungan. Saya sampai tak pernah mau mengingat hal itu.

Beruntung, saya berada dalam keluarga yang mendukung apa yang ingin targetkan. Hal demikian, menjadi hal agak sulit di Rote. Bukan tak mungkin, hanya perlu pendampingan terus menerus kepada para orang tua.

Budaya mendidik dengan menggunakan kekerasan sudah sangat begitu dekat dengan keseharian. Pernah, saat saya sedang bermain di kecamatan lain. Saya sampai tak tega melihat seorang bapak memukul anaknya menggunakan bebak- batang dari pohon lontar. Anaknya menangis ketakutan dengan meminta maaf, di saat tersebut si bapak malah menaikan tempo memukulnya.

Mendidik dengan kekerasan hanya akan menghasilkan kekerasan-kekerasan berikutnya. Anak menjadi pendendam, pemarah dan tak sabar. Sebagai orang tua, kita harus selalu belajar. Tak ada kata pernah berhenti untuk belajar, termasuk mendidik anak. Mereka ini selayaknya kertas kosong. Setiap apa yang kita tulis, akan menjadi bekal mereka untuk kesiapan hidup.

Melalui gereja, saya bersama Pendeta Yefta selalu giat untuk memberikan pemahaman kepada para mama dan bapak bahwa mendidik anak itu harus dengan hati. Peluk mereka setiap saat, yakinkan bahwa mereka akan aman dengan bapak dan mama. Berkat pendampingan tersebut, para mama dan bapak mulai peduli dengan pendidikan anaknya.

Malam sudah gelap, tanpa listrik. Seorang bapak berkunjung ke rumah. Bertanya tentang anaknya yang ingin berkuliah tapi si bapak bingung bagaimana caranya. Si bapak yang bingung untuk pembiayaannya, menjadi yakin untuk menabung setiap hasil panen. Saat saya bercerita bahwa dengan kuliah, anaknya bisa membantu bapaknya untuk menghasilkan panen yang maksimal. Senyum merekah dari bibirnya. Saya bahagia sekali saat itu.

Hari anak nasional bukan hanya sekedar seremonial saja. Ini adalah cara kita semua untuk terus berikhtiar mendampingi anak-anak kita. Selamat hari nasional 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun