Mohon tunggu...
eka azwin lubis
eka azwin lubis Mohon Tunggu... -

belajar menulis untuk mengeksplorasi segala gagasan kecil yg dharapkan jd setitik sumbangsih bagi perubahan peradaban kaku.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Adil dalam Berfikir

7 Mei 2012   00:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:37 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Karena sudah hal yang lazim apabila seorang calon yang menghaburkan uang untuk mendapat dukungan, maka saat ia terpilih menjadi wakil rakyat yang ada bukanlah fikiran bagaimana untuk menyejahterakan rakyat tetapi justru bagaimana untuk mengembalikan modal yang banyak terbuang saat kampanye. Maka wajar jika hari ini kita dihadapkan pada realita dimana pemerintah tidak lagi respons terhadap masalah kemiskinan rakyatnya karena jauh sebelum mereka terpilih, masyarakat sendirilah yang menagajari mereka untuk berfikiran pragmatis.

Contoh lain yang lebih sederhana namun jarang kita sadari adalah, bagaimana kita sangat membenci oknum kepolisian yang juga merupakan alat negara yang tergabung dalam lembaga Eksekutif pemerintahan.

Kita menganggap saat ini polisi tidak lagi menjadi simbol keamanan negara namun sudah menjadi musuh bersama masyarakat awam. Hal ini dikarenakan setiap ada polisi yang berada dipinggir jalan maka ketakutan yang luar biasa juga akan muncul karena pola fikir yang masih tertidur dimana apabila terjaring operasi razia polisi maka kita harus siap-siap untuk mengeluarkan uang yang cukup besar agar tidak terjadi penahanan oleh aparat kepolisian.

Disini sekali lagi kita harus cerdas dalam menyikapinya, selain kesalahan dari oknum polisi yang memang harus diakui kerap "memeras" meskipun caranya lebih santun dibanding pemalak jalanan apabila ada orang yang melanggar lalu lintas meskipun tidak ada operasi resmi. Masyarakat juga tidak bisa dibenarkan dalam rangka negosisasi ala polisi yang tidak profesional dengan mereka. Yang pertama jelas mereka melanggar lalu lintas sehingga wajar untuk ditertibkan. Yang kedua adalah apabila oknum kepolisian yang tidak profesional tadi menawarkan negosiasi, masyarakat juga harus cerdas untuk menolaknya dan harus lebih memilih untuk diproses dan diselesaikan secara legalitas formal.

Dari sini kita dapat berkesimpulan bahwa kesalahan tidak hanya mutlak terletak dari pemerintah yang berkewajiban menjalankan roda birokrasi negara, tetapi rakyat juga dituntut kecerdasannya dalam peran sertanya sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara. Seperti yang diungkapkan seorang pemerhati Sosial, Husni Mubarok yang menyatakan Keadilan dalam berfikir untuk menjatuhkan penilaian dalam menanggapi peliknya kehidupan berbangsa memang sangat dituntut keberadaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun