Mohon tunggu...
Eka Herlina
Eka Herlina Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Seorang teman bagi temannya, seorang anak bagi ibu, dan seorang perempuan bagi dirinya.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Doom Spending, Kecenderungan Belanja yang Mengacaukan Kondisi Keuangan

7 Oktober 2024   16:07 Diperbarui: 8 Oktober 2024   05:39 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar : Doom spending perilaku belanja secara impulsif (sumber foto: Freepik)

Kaluna bisa punya tabungan 330 juta ... yah karena dia nggak gampang check out keranjang online 

Ada yang menarik dari cuitan netizen X yang membahas soal Kaluna, karakter dalam film Home Sweet Loan yang memiliki tabungan hingga 330 juta dengan gaji 6 juta perbulan untuk ukuran hidup di Jakarta. Ragam pembahasan soal Kaluna di dunia maya tersebut salah satunya adalah bagaimana gaya hidup Kaluna yang tidak pernah nongkrong,  tidak mengenal gaya hidup self reward ... yang bagi warga X adalah suatu kewajaran bisa memiliki tabungan sebesar itu.

Tidak. Saya tidak sedang membahas soal gaya hidup Kaluna, tapi lebih kepada fenomena doom spending yang belakangan ini lagi tren di kalangan milenial dan generasi Z. Dan, prilaku doom spending tak lepas dengan istilah self reward sebagai alasan untuk berbelanja atau melakukan pengeluaran dalam hal ini uang. 

Doom spending dinilai sebagai pemicu dari kekacauan keuangan yang terjadi di sebagian generasi milenial dan Z yang membuat mereka sulit memiliki kondisi kebebasan finansial. Jangankan punya tabungan 330 juta, memiliki rumah terasa sesuatu mustahil bagi mereka.

Lalu Apa Sih Doom Spending Itu ? 

Ilustrasi gambar : Doom spending perilaku belanja secara impulsif (sumber foto: Freepik)
Ilustrasi gambar : Doom spending perilaku belanja secara impulsif (sumber foto: Freepik)

Doom spending merupakan istilah yang digunakan untuk mengambarkan perilaku pengeluaran yang impulsif sebagai respon terhadap rasa stress, cemas dan putus asa.

Mengutip artikel berjudul What is doom spending and how can you avoid it dalam laman money.usnews , menyatakan doom spending mengacu pada fenomena yang terjadi ketika orang membelanjakan uang untuk mengatasi stres, meskipun ada kekhawatiran terhadap perekonomian.

Tak bisa dipungkiri akhir - akhir ini meskipun dilanda ketakutan dan kecemasan akan kondisi perekonomian saat ini, mayoritas generasi milenial dan Z cenderung rentan mengadopsi doom spending sebagai pelarian untuk mendapatkan kepuasan instan.

Tekanan media sosial, FOMO (Fear of missing out), kemudian paylater dan belanja online merupakan sebagian faktor mempengaruhi terjebak pada gaya hidup doom spending. Sementara itu, harus dihadapkan dengan kondisi inflasi dan tekanan ketidakpastian ekonomi yang membuat cemas dan stress sehingga membutuhkan 'pelarian' untuk menghibur diri.

Alih - alih membekalkan diri terhadap literasi keuangan bagaimana memiliki tanggung jawab terhadap uang, justru malah menjadikan belanja sebagai pelampiasan untuk melepaskan stress sejenak dengan dalih self reward.  

Istilah self reward pun bukan sesuatu yang asing lagi di telinga. Lelah sedikit saja, jemari sudah gatal untuk check out belanjaan di keranjang online agar memenuhi kepuasan diri. Yah, meskipun berujung penyesalan sih ....

Apa Benar Doom Spending Menghancurkan Kondisi Keuangan ?

Ilustrasi gambar : Doom spending berdampak pada kondisi finansial (sumber foto : Freepik/Kues1)
Ilustrasi gambar : Doom spending berdampak pada kondisi finansial (sumber foto : Freepik/Kues1)

Kecenderungan belanja secara berlebihan dimana barang - barang yang dibeli bukan termasuk kebutuhan primer tentu berdampak pada kondisi keuangan karena mengabaikan kebutuhan menabung ataupun investasi untuk masa depan.

Kendall Meade, Perencana keuangan memaparkan bahwa individu yang lebih muda sering kali kurang memiliki pengetahuan keuangan dan perspektif jangka panjang yang diperlukan untuk menolak belanja impulsif, terutama ketika dihadapkan dengan faktor stres yang mendesak.

Doom spending membawa seseorang sulit bertanggung jawab terhadap kesehatan dan kestabilan finansial. Ketika menabung terabaikan dan utang mulai menumpuk serta ketidak tersedia dana darurat. Tentu kondisi tersebut tak saja memberi dampak pada kegagalan kemerdekaan finansial tapi juga dapat mempengaruhi kesehatan mental.

Memahami dampak negatif dari doom spending yang bisa mempengaruhi kondisi finansial salah satu langkah penting untuk menjauhi diri dari perilaku doom spending.

Inilah yang Saya Lakukan Agar Tidak Terjebak ke Doom Spending 

Sebagai bagian dari generasi milenial yang memiliki kemudahan dalam akses memperoleh hiburan dan berbelanja online adalah godaan terbesar bagi saya dalam membelanjakan uang. Dari mulai membeli aplikasi premium, belanja barang mewah biar bisa OOTD (outfit of the day) dan upload di sosial media. Yah, minimal kalau nongkrong nggak malu - maluin kala tongkrongan mengirim gambar via AirDrop Apel yang sudah digigit. Eh ....

Percayalah, saya justru terjebak pada generasi Baby Boomer dengan menerapkan konsep minimalis dan kesederhana hidup. Inilah beberapa hal yang saya lakukan sehingga jauh dari dunia Doom spending :

1. Kesadaran akan Kondisi Keuangan

Mengutip kalimat dari karakter Kaluna : “ Orang biasa kayak gue tuh, mau mimpi juga harus tahu diri ternyata “, yah ... bukan lahir sebagai Putri Tanjung, setidaknya memiliki kesadaran diri soal kondisi finansial.

Saya menutup mata pada pembahasan mengenai soal gadget keluaran terbaru yang nggak tahu fungsinya untuk apa, menghapus aplikasi e-commerce dan cenderung belanja di warung tetangga sesuai apa yang dibutuhkan saat ini.

Meskipun belanja di warung tetangga tergolong lebih mahal, tapi setidaknya belanja sesuai apa yang dibutuhkan dan tidak lapar mata untuk jajan yang lainnya, bukan?

Jika pun membutuhkan belanja online, biasanya saya meminta tolong kepada anggota keluarga yang lain sehingga mata saya tidak ikut menjelajahi barang - barang yang di e-commerce.

2. Menciptakan hiburan yang tidak mengeluarkan biaya

Salah satu faktor terjebak doom spending adalah dipicu faktor stres. Saran saya jangan buka aplikasi e-commerce ketika malam hari atau tengah malam saat kondisi overthinking melanda. Jangan ya dek, kalau tidak berujung terjebak check out barang yang tidak diperlukan kemudian ujungnya menyesal.

Alihkan perhatian dengan membaca buku, menikmati secangkir teh di teras rumah ataupun mengurus tanaman salah satu kegiatan yang dapat dilakukan sebagai pengalihan dari rasa stres.

Jika terasa kurang menghibur, cukup berjalan kaki sekitar rumah dan tersenyum kepada tetangga ataupun memberi les di akhir pekan kepada anak kecil di sekitar rumah adalah ide menarik untuk mengalih perhatian dari scrolling e-commerce atau rells IG maupun VT Tik-tok. Lumayan kan yah dapat pemasukan juga.

3. Bekali Mengenai Literasi Keuangan dan Pahami mengenai Kebutuhan dan Keinginan

Ini hal dasar yang perlu dalam diri sendiri soal literasi keuangan dan bagaimana memperlakukan uang sebagaimana mestinya. Dan, juga perlu dibedakan juga antara sedekah dengan utang. Jangan mudah memberi utang kepada orang dengan dalih membantu jika tidak ada kepastian uang tersebut akan kembali ke dirimu.

Jika ingin membeli sesuatu dan sulit membedakan antara butuh atau ingin, pastikan untuk berpikir dan beri jeda ke diri sendiri. Biasanya, kalau terbayang hingga tiga hari ke depan, baru saya membeli barang tersebut. Pastikan kamu menabung dan menyiapkan dana darurat dalam mengatur budget finansialmu. 

Semoga tips berdasarkan pengalaman sehari -hari tersebut menginspirasi dan bermanfaat. 

Sumber : 

- https://money.usnews.com/money/personal-finance/spending/articles/what-is-doom-spending-and-how-can-you-avoid-it   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun