Mohon tunggu...
Eka Herlina
Eka Herlina Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Seorang teman bagi temannya, seorang anak bagi ibu, dan seorang perempuan bagi dirinya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Konsep Perempuan dalam Pandangan Rohana Kudus

7 Agustus 2024   14:25 Diperbarui: 7 Agustus 2024   15:40 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar : Rohana Kudus, jurnalis perempuan pertama di Indonesia (sumber foto : Wikimedia Commons)

“ … yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik.”

Memasuki bulan Agustus, kita kembali diingatkan soal bagaimana eksistensi Indonesia sebagai negara yang telah Merdeka dari penjajahan kolonial dan Jepang – tentu kita belum sepenuhnya merdeka dari penjajahan melawan bangsa sendiri yaitu ; Koruptor–

Agustus dan perjuangan pahlawan di masa tersebut, membuat saya teringat pada sosok pahlawan perempuan, salah satunya Rohana Kudus. Jurnalis perempuan pertama di Indonesia ini ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai ketetapan presiden Joko Widodo berdasarkan penetapan Surat Menteri Sosial RI nomor :23/MS/A/09/2019 lalu.

Hal tersebut tak lepas dari kiprah Rohana Kudus dalam memperjuangkan hak-hak perempuan semasa hidupnya yang tak perlu diragukan. Semasa kecil ia sudah mengajarkan anak-anak sebayanya membaca. 

Rohana Kudus juga mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia ( KAS) untuk mengajarkan perempuan membaca, menulis, menyulam, menjahit dan sebagainya -- kepandaian Rohana dalam menyulam dan menjahit ia pelajari dari sang nenek--. 

Perempuan yang lahir di Koto Gadang, Bukittinggi, pada 20 Desember 1884 ini juga mendirikan surat kabar Sunting Melayu yang membahas tentang isu-isu perempuan. 

Tumbuh dalam konstruksi budaya mengenai perempuan yang tidak dibolehkan mendapat pendidikan dan hanya berdiam diri di rumah, serta tidak boleh melampaui kepintaran laki-laki membuat Rohana memahami bahwa belenggu tersebut bisa diatasi melalui pendidikan. 

Lewat surat kabar yang didirikannya, Rohana menjadikan sebagai media dimana ia mengkomunikasi pemikiran tentang kebebasan yang harus dirasakan oleh perempuan terutama dalam hal pendidikan. 

Sejatinya, Rohana tidak sepenuhnya mengajarkan kesetaraan perempuan dan laki-laki harus berada dalam posisi sama, tapi lebih kepada bagaimana perempuan mendapat akses pendidikan yang baik seperti halnya laki-laki pada saat itu.

Bagaimanapun secara fitrah laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan yang tidak bisa disamakan. Hal ini sesuai dengan firman Allah ta’ala :

“… dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan….” (QS Ali Imran:36).

Perbedaan tersebut tentu turut mempengaruhi kondisi fisik dan emosional laki-laki dan perempuan yang tidak bisa disamakan. Ada koridor - koridor yang harus berjalan sesuai peran berdasarkan kodrat gender mereka, bukan berdasarkan kategorisasi gender yang sudah dikonstruksikan sedemikian rupa. 

Pekerjaan domestik bukan sepenuhnya berada dalam ranah perempuan namun menjadi tanggung jawab bersama. Demikian dengan menuntut ilmu juga bukan milik dunia laki-laki, namun menjadi kewajiban bersama sebagai makhluk sosial. 

Apa yang disuarakan oleh Rohana tak lebih pada kebebasan dalam menuntut ilmu dan perempuan harus memiliki keahlian agar hidup mereka lebih berharga. Pergerakan yang dilakukan Rohana pada dasarnya mengubah stigma ‘perempuan tidak boleh pintar melebihi laki-laki’ menjadi perempuan harus cerdas dalam menjalankan kehidupan ini. 

Sebagaimana kalimat yang diucapkan oleh Rohana : 

“Perputaran zaman tidak pernah membuat wanita menyamakan laki-laki. wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang semuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan. “ 

Dewasa ini perempuan sudah merasakan kebebasan dalam dunia pendidikan sebagaimana yang dicita-citakan oleh Rohana Kudus pada saat itu. Namun, masih saja menemukan diskriminasi akibat dari konstruksi tentang gender yang sudah mengakar dalam waktu yang cukup lama. 

Masih termarjinalisasinya perempuan turut menimbulkan ragam pergerakan feminisme yang menuntut kesetaraan gender. Tuntutan soal kesetaraan terkadang melampaui batas di era modernisasi ini tatkala beberapa feminis selalu menuntut kepada dunia atas perilaku patriarki dan tanpa ada sandaran yang jelas. 

Berbicara mengenai isu perempuan adalah sesuatu yang kompleks dan selalu menjadi perdebatan. Sebenarnya bukan soal kesetaraan gender, tapi bagaimana perempuan hadir sebagai individu yang dapat memaknai diri dengan baik sebagai perempuan. 

Untuk dapat memahami hal tersebut dibutuhkan ilmu pengetahuan, pendidikan yang baik akan membawa perempuan dapat memahami perannya dalam menjalankan kodratnya sebagai perempuan dan tentunya tidak bertentangan dengan adat basandi syara, syara basandi kitabullah

Ketika perempuan menguasai ilmu pengetahuan dengan baik, ia juga mengetahui solusi bagaimana mengatasi marjinalisasi yang menimpa dirinya.

****

Sumber :

https://id.wikipedia.org/wiki/Roehana_Koeddoes#/media/Berkas:Rohana_Kudus.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun