Aku menghela napas. Ingatanku kembali terpaku pada puzzle - puzzle kehidupan saat bersama ibu. Barangkali aku yang terlalu egois mengedepankan soal perasaan tanpa memikirkan bagaimana perasaan ibu. Aku lupa, ibu mungkin punya beban batin tersendiri.Â
Jika aku masih bisa melampiaskan dengan memberi ruang untuk diri sendiri, lalu bagaimana dengan ibu?Â
Ibu tak bisa melarikan diri dari rumah sejenak. Sekalipun menikmati secangkir teh di kedai kopi di penghujung sore hari. Ada suara - suara yang mengikatnya untuk tetap berada di rumah seperti seruan ayah yang mencari beliau atau suara teriak Arinda , “ Bu, liat sepatu aku yang warna putih nggak? “
Ibu pun juga tak bisa kabur di pagi hari kala aku merengek untuk dibungkuskan nasi sebagai bekal dibawa dalam kegiatan jalan-jalanku. Ibu dengan segala keletihan menebang daun pisang di halaman belakang rumah, membakar permukaan sejenak biar nasi yang dibungkus tetap wangi.Â
Ibu dengan segala hal -hal yang menyesakan, tak ada teman bercerita –-sementara aku masih berbagi cerita dengan Arinda atau meluapkan di sosial media. Sementara ibu, bagaimana ia melepaskan perasaan melelahkan tersebut?Â
Satu -satunya yang dilakukan ibu adalah  bersujud di sepertiga malam, menyerahkan semua keresahan hidup pada sang Pencipta.
Lalu, kasih sayang seperti apa yang sudah aku berikan kepada ibu? Diterpa omelannya saja aku sudah menganggap lelah.
Bagaimana dengan ibu?Â
****
Sekilas tentang penulis :
Eka Herlina, seorang perempuan yang masih belajar menjadi penulis yang baik dan menyenangkan bagi kehidupan ini.