Dari tahun ke tahun konsumsi listrik rumah tangga terus meningkat. Dan, untuk memenuhi kebutuhan tersebut kita masih mengandalkan batubara. Begitu juga dengan penggunaan gas alam dalam kehidupan sehari-hari. Saya tidak ingin berbicara soal data, realitasnya konsumsi tersebut salah satu faktor peningkatan emisi gas rumah kaca yang memperparah krisis iklim saat ini.
Sepatutnya semua manusia saat ini memainkan peran dalam transisi energi, salah satunya lewat energi baru dan terbarukan (EBT) untuk mengurangi dampak krisis iklim yang makin parah. EBT dapat dijadikan alternatif penggunaan energi yang ramah lingkungan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.Â
Perempuan, khususnya ibu adalah mayoritas yang berperan dalam kebutuhan energi rumah tangga. Mereka adalah garda terdepan mencari sumber alternatif kala ketiadaan energi terjadi. Contohnya, saat terjadi kelangkaan gas elpiji, sosok ibu dengan sigap kembali memasak menggunakan kayu bakar. Namun, apakah penggunaan kayu bakar dapat menjadi solusi alternatif dalam transisi energi mengatasi krisis iklim?Â
Tentu tidak, bukan?Â
Ada banyak EBT yang telah dikembangkan dalam mengatasi dampak krisis iklim ini dan terbukti ramah lingkungan. Sayangnya, seperti yang telah dibahas sebelumnya, perempuan tidak dilibatkan terhadap pembahasan maupun sosialisasi penggunaan EBT. Jika pun ada, hanya melibatkan kelompok tertentu seperti perempuan yang memiliki privilege pendidikan yang mumpuni.
Lalu apa kabarnya ibu - ibu di pedesaan yang tahunya bahwa yang terjadi perubahan iklim tak lepas dari bumi yang makin tua. Jarang ada yang sadar bahwa krisis iklim terjadi saat ini adalah dampak dari konsumsi energi konvensional yang berlebihan.
Untuk itu pentingnya sosialisasi keterlibatan perempuan sebagai pengambil keputusan dalam strategi dan perwujudan transisi EBT ini. Keterlibatan bisa berupa memberi ruang diskusi dan pelatihan terkait EBT dan memberdayakan perempuan dalam aksi nyata terkait pengurangan emisi gas efek rumah kaca. Â
Hal tersebut selaras dengan program Oxfam Indonesia yang berupaya memperjuangkan agar perempuan berperan sebagai pengambil kebijakan untuk mewujudkan kesetaraan gender. Pasalnya selama ini kurangnya keterlibatan perempuan terhadap proses transisi energi adil. Oxfam juga turut berupaya memberdayakan perempuan agar dapat berpartisipasi dalam semua aspek ekonomi, sosial, politik dan budaya dalam kehidupan mereka.Â
Sudah saatnya meletakan keputusan berada di tangan ibu terkait proses transisi energi adil dan bukan sekedar dianggap sebagai konsumen semata. Di tangan ibulah janji perubahan itu terlihat nyata sebagai mayoritas yang lebih banyak terlibat dalam penggunaan energi di kehidupan sehari-hari.Â
Langkah sederhana yang dapat dilakukan dengan melibatkan ibu - ibu dalam proses transisi energi adil adalah dengan mengenalkan tentang energi panel surya dan biomassa (penggunaan briket arang dalam proses memasak) serta mengalakkan aksi hemat penggunaan energi konvensional dan gaya hidup ramah lingkungan. Karena sudah saatnya memberi kepercayaan bahwa perempuan dapat memberi perubahan yang lebih baik dalam berperan sebagai pengambil keputusan terhadap transisi energi terbarukan ini.