Wardhani dan Nugroho juga menyatakan bahwa keterlibatan ayah secara aktif dalam pendidikan keluarga juga akan membuka keran komunikasi antara orangtua. seperti ibu yang tidak lagi merasa ragu mengutarakan masalah yang dijumpai karena ayah merespons dengan tanggung jawab.
Tertutupnya komunikasi karena “ayah sudah lelah mencari nafkah” dinilai Wardhani dan Nugroho akan menyebabkan masalah yang tidak terselesaikan, berujung pada dampak negatif pada diri anak.
Saya teringat sebuah video reels instagram milik akun Satria Maulana (@Svatria) yang kerap melakukan komunikasi dua arah dengan anaknya. Salah satu video yang menarik adalah ketika menjelaskan soal ‘orang miskin’. Ia membuka obrolan dengan pertanyaan kepada Emir, anaknya, apakah pernah mendengar kata fakir. KetikaEmir menjawab 'tidak', ia pun mulai menjabarkan makna kata tersebut.
Svatria : Fakir itu orang yang hidupnya berkekurangan dan miskin. Kita ini fakir bukan?
Emir : Bukan.
Svatria : Punya apa emang?
Emir : Mobil. Motor. Rumah.
Svatria : Tapi, tau nggak di Quran surah Fatir Allah bilang sebenarnya kita itu fakir lho, Mir.
Emir : Iya gitu.
Kemudian Svatria membacakan ayat dari surat Fatir tersebut dan menjelaskan maknanya kepada sang anak. “Jadi kita itu fakir dihadapan Allah. ayat ini ngegambarin gimana kita sebagai manusia butuh sama Allah dari semua sisi. Pertama kita itu ada dari yang tadinya nggak ada. Emir ada diciptakan sama siapa?”
Svatria memberikan pandangan sebagai seorang ayah, obrolan dengan sang anak adalah sarana untuk membangun kedekatan. Orangtua perlu jadi guru pertama anak-anak untuk mengenal perasaan mereka. Kenyamanan anak-anak yang perasaan diakui akan jadi pondasi untuk obrolan-obrolan yang dilakukan.