Mohon tunggu...
Eka Fitriani
Eka Fitriani Mohon Tunggu... Guru - A Javanese

A student of English Education Study Program,Universitas Jambi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan Uang

2 Desember 2019   10:21 Diperbarui: 2 Desember 2019   10:31 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dan benar saja, seminggu kemudian hujan uang kembali terjadi.  Sama persis seperti yang pertama. Dimulai dari uang recehan yang diistilahkan seperti gerimis bagi orang-orang. Kemudian hujan uang kertas berbagai nominal.

Setelahnya orang-orang dari penjuru negeri pulang ke daerah mereka sendiri, membawa berkarung-karung uang. Mendadak seisi negeri menjadi orang yang kaya raya.

Herman pun sama. Ia membeli rumah di depan pantai, mobil sport idamannya, dan makan dengan suka cita.

"Sungguh menyenangkan jika bisa hidup seperti ini." Celotehnya kegirangan. Dunia tiba-tiba saja menjadi sangat membahagiakan.

Tapi sayangnya, kondisi yang membahagikan ini hanya bertahan selama satu bulan saja. Setiap orang telah menjadi kaya. Para petani yang dulu susah, para pengemis yang dulu tak punya rumah, sekarang sama kayanya dengan bos perusahaan.  Tidak ada lagi yang merasa perlu untuk bersusah payah menanam tanaman ataupun saham, mereka punya banyak uang sekarang. Tidak ada lagi yang bekerja. Mereka selalu beralasan "Saya kan sudah kaya".

Dalam sekejap dunia seperti hampir kiamat. Hujan sebenarnya tidak pernah lagi terjadi, jika datang mendung bukan air yang ditumpahkan, melainkan berkubik-kubik uang. Secara pasti kebutuhann mulai tidak terpenuhi.

Orang-orang menjadi sanggup membeli saat mereka sendiri tidak ingin memproduksi. Kelaparan mulai merambah, kerusuhan terjadi dimana-mana sebab orang kini mencari makan bukan mencari uang. Perang tak terelakkan, kali ini bukan wilayah yang diperebutkan, tetapi makanan.  Perlahan orang-orang mulai tidak memperdulikan rumah bagus, mobil mewah, perhiasan, dan seluruh harta bukan makanan. Bagi mereka benda itu sama tidak bergunanya seperti sampah. Setiap hari adalah kiamat.

Nasib serupa dialami Herman. Dia haus dan kelaparan. Padahal sebulan sebelumnya, dia menganggap dirinyalah manusia paling bahagia di muka bumi. Tapi ada yang berbeda dari diri Herman kali ini. Ia tidak mengeluh lagi.

Dia bangkit dari tempat duduknya. Membuka lemari pendinginnya yang punya tiga pintu. Mengeluarkan sisa kentang, dan beberapa sayuran. Ia pergi kebelakang rumahnya. Dimulailah sesi berkebun ala Heman.

Berhari-hari selama hampir dua bulan, Herman bekerja dikebunnya. Dia menanam dan merawat tanamannya dengan susah payah sebab hujan air belum juga datang. Yang ada malah hujan uang yang terkadang malah merusak tanamannya. Tapi Herman tidak menyerah dan ia berhasil.

Panen pertamanya telah tiba. Seluruh negeri heboh dibuatnya. Orang-orang datangg beramai-ramai mengungjungi rumah Herman. Mereka ingin membeli makanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun