Mohon tunggu...
Eka Ferliana
Eka Ferliana Mohon Tunggu... -

belajar dan belajar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mahar dalam Filosofi Islam

1 November 2011   22:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:10 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat kita, masih terpengaruh oleh budaya matriarchal (sistem keturunan dari ibu) dan patriarchal (sistem keturunan dari ayah). Sehingga percampuran budaya tersebut mewarnai prosesi pernikahan dalam masyarakat. Pada sistem-sistem tersebut ada dampak atau perlakuan negatif terhadap perempuan. Periode jahiliyah menempatkan perempuan sebagai barang belian dari orangtua, budak nafsu, milik laki-laki. Sehingga pencitraan terhadap perempuan, mengalami stereotype negatif pada beberapa periode sampai sekarang masih menyisakan sistem jahiliah tersebut. Munculnya matriarchal mendapat respon, sehingga memunculkan sistem patriarchal yang dianggap sebagai solusi saat itu. Apakah pergantian dari budaya matriarchal ke patriarchal, cukup solutif untuk membebaskan perempuan dari perlakuan yang tidak manusiawi? Ternyata waktu membuktikan adanya sistem patriarchal juga makin memperburuk sikap semena-mena terhadap perempuan. Supaya terlepas dari itu, tentu kita memerlukan sebuah sistem yang adil untuk laki-laki dan perempuan, pada ranah rumah tangga atau masyarakat. Untuk keberlangsungan hubungan laki-laki dan perempuan sebagai suami istri. Tanpa merendahkan satu dengan yang lain (red: suami-istri).

Sering kita menyaksikan dalam upacara pernikahan, pada ijab qobul pernikahan menyebut sebuah mahar atau maskawin. Yang mana hal itu menjadi suatu syarat syahnya pernikahan. Dalam kebudayaan sosial kita, mahar atau maskawin disebutkan berupa seperangkat alat sholat dan Al Qur’an, uang, perhiasan emas, dan barang-barang lain. Pada sebuah adat istiadat pernikahan suatu daerah, besarnya mahar menandakan sebuah status ekonomi sosial pada masyarakat. Jika tujuan menikah adalah untuk memenuhi panggilan ibadah, mencari ridho Ilahi dan mewujudkan keluarga sakinah, mawadah, warahmah sebuah pernikahan haruslah dijalani dengan nilai-nilai ketuhanan yang memuliakan derajat sesama manusia. Haruskah niat membangun rumah tangga yang suci diukur karena materi mahar? Apa sebenarnya mahar atau maskawin tersebut? Bagaimanakah sudut pandang Islam tentang mahar? Dan apa batasan terkait besar dan kecilnya mahar? Dalam Al Qur’an tujuan menikah antara lain: “Nikahkanlah mereka yang masih berstatus bujang, baik laki-laki maupun perempuan, atau laki-laki yang baik-baik. Kalau mereka fakir (miskin), maka (dengan menikah) mereka akan menjadi kaya/diberi kekayaan oleh Allah. Dan Allah Maha Luas dan Mengerti.” (QS. Al-Nur, 24: 32).

Filosofi Mahar atau Maskawin Dalam Islam, mahar bagian pernikahan adalah hak finansial perempuan dari suami yang dinikahinya. Bagian pernikahan ini atau mahar merupakan haknya baik tertulis maupun tidak tertulis. Al Qur’an menyatakan, Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan...(QS. An-Nisa:4). 1) Sebagai sebuah syarat pernikahan atau pemberian dari suami, perempuan yang meminta mahar yang akan diberikan. Dan atas kerelaan seorang suami memberikan mahar tersebut. Mahar juga sebagai tanda cinta dan kasih sayang kepada orang yang kita nikahi serta untuk mendapat ridho Ilahi. Karena mahar menjadi hak milik perempuan saat menikah, tidak untuk orang tua atau orang lain. Al Qur’an dalam An-Nisa: 4 telah menunjukan tiga pokok dasar pada ayat tersebut: 2) Pertama, mahar disebut sebagai shaduqah dan tidak disebut mahr. Shaduqah berasal dari kata shadaq; mahar adalah shidaq atau shaduqah karena ia merupakan suatu tanda kebenaran dan kesungguhan cinta dan kasih pria. Kedua, kata ganti hunna (orang ketiga jamak femina) dalam ayat ini berarti bahwa mahar itu menjadi milik perempuan itu sendiri, bukan hak ayah atau ibunya. Mahar bukanlah upah atas pekerjaan membesarkan dan memelihara anak perempuan itu. Ketiga, nihlatan (dengan sukarela, secara spontan, tanpa rasa enggan) menjelaskan kesempurnaan bahwa mahar tidak mengandung maksud lain kecuali sebagai pemberian atau hadiah. Dalam tradisi Islam, laki-laki yang melakukan pendekatan terhadap perempuan untuk pernikahan, karena dalam makrokosmos perempuan yang menjadi bagian dari keseluruhan laki-laki. Tuhan begitu melindungi perempuan, sehingga perempuan dijaga kehormatannya karena alam ada ditangan perempuan. Perempuan mendapatkan hak untuk memilih pasangannya yang dia cintai dan mencintainya, sehingga dalam rumah tangga kelak terbangun hubungan yang harmonis, mawadah dan warahmah. Bentuk kecintaan suami adalah pemberian mahar dan nafkah, karena istrinya telah menyenangkan hatinya dalam rumah tangga. Besar kecilnya pemberian mahar tentu seharusnya tidak diukur dari materinya saja, tetapi makna dibalik pemberian mahar tersebut. Sebuah cinta kasih dan kerelaan dari pihak laki-laki untuk memberikan mahar, serta penuh tanggungjawab untuk menjaga pemberian mahar itu bagi perempuan demi menjaga kehormatannya.

Pustaka: 1) Prof. S.M. Khamenei, “Risalah Hak Asasi Wanita”, hlm. 83 2) Murtadha Muthahhari, “Hak-hak Wanita dalam Islam”, hlm. 127

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun