Pemimpin yang mampu mengaktualisasikan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa mewajibkan bahwa setiap warga Indonesia adalah pemeluk agama yang bertuhan bukan seorang atheis. Individu dalam konteks ini adalah insan yang taat kepada Tuhan, hal ini merupakan pondasi dasar yang memiliki kedudukan paling tinggi dikarenakan ketaatan seseorang adalah bagian dari "field of secrets" (lingkup privasi, rahasia, dan misteri) antara dirinya dengan Tuhannya.
Ketika seseorang berani mengingkari Tuhan, maka sudah dapat dipastikan bahwa dia merupakan seseorang yang tidak memiliki kontrol yang baik. Dapat disimpulkan orang yang mengingkari Tuhan maka dia adalah pribadi yang mudah mengingkari janji dan amanah masyarakat.
Nilai dari sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, pribadi yang tidak menitikberatkan pada kepentingan suatu golongan, bukan pribadi yang mendiskriminasi suatu golongan hanya karena status sosial, melainkan mereka yang berani menegakkan kebenaran dan menjunjung tinggi sebuah hak. Nilai persatuan Indonesia menggambarkan kepada figur yang memiliki kecakapan dalam berkomunikasi, menjalin relasi, dan kecakapan dalam berinteraksi kepada setiap orang yang memiliki nilai keberagaman.
Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengajarkan kepada kita bahwa setiap orang harus siap dipimpin dan siap untuk memimpin. Siap dipimpin berarti kita berani menekan ego, mau bersama mendukung dan mewujudkan suatu visi atau misi dari seorang pemimpin demi kesejahteraan bersama. Siap memimpin berarti siap menjadi pelopor yang mampu mempengaruhi dan menggerakkan masyarakat untuk mencapai suatu tujuan bersama sehingga tercipta nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang real dan sebenar-benarnya.
Pemahaman politik setelah pembentukan karakter yang berlandaskan pada ideologi dan nilai pancasila harus dibuat aplikatif dengan cara sistematis. Setiap individu digerakkan untuk membuat perencanaan langkah politik yang nyata setelah mendapatkan pemahaman tentang politik, sehingga mereka tidak hanya cerdas individual tapi diharapkan mereka mampu mencerdaskan individu yang lain, berintegritas dalam arti menjadi pribadi yang jujur dan berdiri kokoh dengan karakter yang kuat, tidak mudah dimanipulasi, memiliki persuasi yang baik, pribadi yang mampu bekerja sama, sama-sama bekerja dan tidak mengerjai sesama.
Dengan adanya perencanaan langkah politik aplikatif maka secara tidak langsung seseorang sedang belajar menjadi internal control politik. Individu yang berperan sebagai kontrol politik maka wajib hukumnya untuk selalu mengetahui perkembangan isu atau opini publik, berperan sebagai agent of control berarti menjadi pribadi yang mewarnai atau pribadi yang menggerakkan bukan menjadi seseorang yang diwarnai atau digerakkan oleh orang lain.
Proses opini publik terjadi melalui tiga tahap, yaitu konstruksi personal, konstruksi sosial, dan konstruksi politik. Konstruksi personal, yaitu tahap di mana individu mengamati segala sesuatu, menginterpretasikannya, dan menyusun makna objek--objek politik secara sendiri-sendiri dan subjektif. Konstruksi sosial yaitu tahap menyatakan opini pribadi di depan umum, sedangkan konstruksi politik merupakan tahap yang menghubungkan opini publik, opini rakyat, dan opini massa dengan kegiatan para pejabat publik (eksekutif, legislator, dan hakim) yang sama-sama bertanggung jawab atas pemrakarsaan, perumusan, penerimaan, penerapan, penginterpretasian, dan penilaian kebijakan-kebijakan (Nimmo, 2011).
Pengetahuan terhadap  tahap-tahap terjadinya proses opini publik ini diharapkan menjadi bekal bagi individu agar dapat memberikan suatu tindakan dan keputusan yang baik dan tepat, karena secara intuitif keputusan yang baik adalah keputusan yang diambil dan diputuskan dengan cara memilih tindakan terbaik yang ada ketika dihadapkan pada ketidakpastian mengenai konsekuensi (Edward, 2014).
Berdasarkan semua bahasan yang telah dipaparkan maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia tengah dilanda krisis politik. Ruang politik di Indonesia tengah dikuasai oleh oligarki politik, di mana hanya orang-orang yang memiliki kekuatan dan kekayaan ekonomi yang dapat berkuasa serta memimpin pemerintahan.
Paradigma dan sudut pandang masyarakat tengah digiring pada sudut pandang bahwa hanya orang yang berkuasa yang dapat menjadi pemimpin. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah wadah yang mampu menempa kader politisi yang berintegritas cerdas. Wadah ini berperan sebagai senjata yang di dalamnya ditanamkan pemahaman politik yang baik dan benar, penggerak dari senjata ini tidak lain adalah kader generasi pemuda Indonesia. Oleh karena itu hal ini merupakan sebuah tugas besar bagi generasi muda untuk turut serta berperan andil dalam mencerdaskan dan meluruskan pemahaman politik kepada setiap lapisan masyarakat.