Kemiskinan selalu menjadi masalah di setiap negara di dunia, tidak terkecuali.di Indonesia. Meskipun berbagai kajian dan penelitian telah dilakukan, namun definisi yang baku tentang.kemiskinan sulit ditemukan. Penyebab kemiskinan bermuara.pada teori lingkaran kemiskinan (vicious circle of poverty) dari (Nurkse, 1953).Teori lingkaran kemiskinan didefinisikan sebagai suatu rangkaian siklus yang memiliki kekuatan dalam mempengaruhi satu sama lain sehingga tercipta suatu keadaan dimana suatu masyarakat akan tetap miskin dan terus mengalami.banyak kesulitan dalam mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.
Teori ini menyebut bahwa negara-negara sedang berkembang itu miskin dan tetap miskin, karena produktivitasnya rendah. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya upah yang diterima masyarakat tersebut, sehingga masyarakat hanya dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minim. Sebab hal inilah mereka tidak dapat menabung ataupun berinvestasi, padahal kedua hal tersebut ialah sumber penguatan modal dan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data Indonesia Family Life Survey-5 (IFLS-5) pada penelitian ini dari 1.085 responden, 45% rumah tangga memiliki penghasilan yang rendah dimana penghasilan mereka berada dibawah garis kemiskinan Nasional tahun 2014 (Rp 312.328/bulan).
Beberapa hal yang dapat menekan produktivitas diantaranya ialah pernikahan yang dilangsungkan sejak dini, putusnya pendidikan, perceraian, dan gender. Menurut (UNICEF, 2001), Pernikahan dini adalah pernikahan pada usia anak-anak atau pada usia sebelum mencapai delapan belas tahun sering disebut sebagai salah satu patologi sosial yang menyebabkan kemiskinan atau memperparah kemiskinan. Pada beberapa kasus pernikahan yang dilakukan sejak dini disebabkan karena orang tua merasa bahwa anak mereka merupakan beban ekonomi yang harus segera dilepas (salah satunya dengan dinikahkan), sehingga anak mereka dapat bertanggung jawab akan hidup mereka sendiri. Padahal hal ini dapat menekan produktivitas, karena anak tersebut belum mampu dalam memenuhi beban yang dipikul.
Indonesia sebenarnya telah menetapkan batas usia pernikahan. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 telah menetapkan batas usia melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Syarat usia perkawinan tersebut kemudian direvisi menjadi 19 tahun bagi lak-laki dan perempuan. Dasar perubahan tersebut adalah adanya kondisi bahwa perbedaan usia perkawinan menimbulkan ketidaksetaraan gender dan diskriminasi gender. Prof. Sonny memaparkan, pemerintah memberikan dispensasi bagi yang akan menikah di bawah usia 19 tahun.
Permohonan dispensasi harus diajukan ke pengadilan. Artinya, pasangan yang masih di bawah umur hanya dapat melakukan perkawinan setelah mereka memiliki penetapan dispensasi kawin dari pengadilan.Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 33,76% pemuda di Indonesia mencatatkan usia kawin pertamanya di rentang 19-21 tahun pada 2022. Kemudian, sebanyak 27,07% pemuda di dalam negeri memiliki usia menikah pertama pada 22-24 tahun. Ada juga 19,24% pemuda yang pertama kali menikah saat berusia 16-18 tahun.Kalau dilihat berdasarkan jenis kelamin, usia menikah pertama pemuda laki-laki dan perempuan tentu aja memiliki perbedaan, dimana laki-laki cenderung memasuki usia pertamanya lebih tua dibandingkan perempuan.
Secara rinci, 35,21% pemuda laki-laki memiliki usia menikah pertama saat 22-24 tahun. Sebanyak 30,52% pemuda laki-laki mencatatkan usia menikah pertama saat berusia 25-30 tahun. Sedangkan, 37,27% pemuda perempuan memiliki usia menikah pertamanya pada 19-21 tahun. Lalu, 26,48% pemuda perempuan menikah pertama kali ketika berusia 16-18 tahun.
Tingginya angka pernikahan dini di Indonesia menjadi persoalan serius menghadapi Indonesia Emas 2045. Di tengah bonus demografi yang sudah mulai berjalan, pernikahan usia dini dapat menyebabkan sejumlah dampak negatif dan risiko. Berdasarkan analisa data perkawinan usia anak di Indonesia hasil kerja sama BPS dan United Nations Children’s Fund (UNICEF), ada berbagai dampak negatif yang dapat terjadi pada sebuah pernikahan yang dilakukan pada usia anak.
Dampak bagi anak perempuan: anak akan kehilangan hak pendidikan, hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan, hak kesehatan, hak dilindungi dari eksploitasi, dan hak tidak dipisahkan dari orangtua. Berkaitan dengan kesehatan,menikah di usia dini memiliki risiko kematian saat melahirkan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang sudah cukup umur. Secara psikologis seperti cemas, depresi, bahkan keinginan untuk bunuh diri. Terakhir, pengetahuan seksualitas yang masih rendah meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi menular seperti HIV.
Dampak bagi anak-anak: Belum matangnya usia sang ibu, mendatangkan konsekuensi tertentu pada si calon anak. Misalnya, angka risiko kematian bayi lebih besar, bayi lahir dalam keadaan prematur, kurang gizi, dan anak berisiko terkena hambatan pertumbuhan atau stunting.
Dampak di masyarakat: langgengnya garis kemiskinan, ini terjadi karena pernikahan dini biasanya tidak dibarengi dengan tingginya tingkat pendidikan dan kemampuan finansial. Hal itu juga akan berpengaruh besar terhadap cara didik orangtua yang belum matang secara usia kepada anak-anaknya. Pada akhirnya, berbuntut siklus kemiskinan yang berkelanjutan.
Profesor Muhadjir Darwin dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai rentang umur itu masih dalam kategori usia anak. Konferensi internasional, kata dia, menetapkan usia di bawah 18 tahun masih tergolong anak-anak.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya