Matahari mulai meredup, semburat oranye menghangatkan langit senja. Dari sudut jalan yang sepi, aku melihatnya untuk pertama kali. Sosok itu, yang kemudian aku ketahui bernama Raya, berdiri anggun dengan senyum lembut di wajahnya, memberikan makan pada kucing-kucing liar yang berkerumun di sekitar kakinya. Mereka mengeong riang, seolah sudah akrab dengan kebaikan hati perempuan itu.
Aku terpesona, bukan hanya karena kecantikan Raya, tetapi juga oleh kelembutan hatinya yang terpancar dari setiap gerak-geriknya. Cara ia mengulurkan tangan, meraih kepala seekor kucing berbulu hitam lalu mengelusnya dengan pelan, menggelitik perutnya, membuat hatiku berdebar. Tiap sentuhannya begitu lembut, seolah ia mengerti bahasa hati para kucing. Kucing-kucing itu, tak satu pun yang takut atau menjauh. Mereka justru mendekat, seakan mereka---seperti aku---takluk pada kehangatan yang Raya berikan.
Sejak pertemuan itu, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Setiap hari, aku kembali ke tempat yang sama, mengintai dari kejauhan, menunggu momen saat Raya muncul dengan kantong plastik penuh makanan untuk kucing-kucing liar. Dari jauh, aku bisa mencium aroma makanan kucing yang khas. Bukan makanan mahal, tapi cukup untuk membuat para kucing berkerumun.
Langkah kaki Raya ringan, setiap kali dia datang, ada aura damai yang terbawa bersamanya. Aku bisa mendengar suara lembutnya ketika dia berbicara dengan para kucing, kadang memanggil mereka dengan nama-nama lucu yang ia ciptakan sendiri. "Hai, Si Gendut, makan yang banyak, ya," katanya pada seekor kucing berbulu abu-abu yang agak gemuk. Aku tersenyum dalam hati, melihat betapa perhatian dia pada mereka.
Awalnya, aku hanya berani melihat dari jauh, menyembunyikan diri di balik pohon atau tiang listrik. Rasa kagumku pada Raya terus tumbuh, begitu pula dengan keberanianku. Hari demi hari, jarak antara aku dan Raya semakin dekat. Dari sekadar mengintip dari balik semak-semak, hingga akhirnya aku berdiri hanya beberapa meter dari tempatnya duduk bersama para kucing.
Hati kecilku ingin mendekat, tapi setiap kali aku hendak melangkah, ada sesuatu yang menahan. Rasa takut ditolak, mungkin. Tapi di sisi lain, ada rasa penasaran yang tak terbendung---aku ingin tahu lebih banyak tentang dirinya. Tentang wanita yang bisa membuatku jatuh cinta hanya dengan melihat cara dia memperlakukan makhluk kecil seperti kucing.
Sore itu, aku memberanikan diri untuk lebih mendekat. Hanya beberapa langkah dari tempat Raya duduk, aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya yang terpancar lembut. Ia sedang asyik bermain dengan seekor kucing berbulu putih yang meringkuk manja di pangkuannya. Aku duduk diam, menatapnya, menikmati setiap detik yang terasa begitu lambat tapi juga begitu sempurna.
Raya menoleh dan matanya bertemu dengan mataku. Jantungku berdebar keras, tapi anehnya, aku tidak merasa takut. Sebaliknya, senyuman yang dia berikan membuatku merasa diterima, seolah-olah kehadiranku sudah lama dinantikan.
"Halo, kamu ingin bermain bersama mereka?" suara lembutnya memecah keheningan. Aku menegang sesaat, tapi kemudian tersenyum kikuk. "Iya, mereka... menarik," jawabku sekenanya. Padahal, yang menarik bagiku bukan kucing-kucing itu, melainkan dia.
Raya tertawa kecil, suaranya seperti melodi indah yang menenangkan. "Ini Si Putih, dia agak pemalu, tapi kalau sudah kenal, dia sangat manja," ujarnya sambil mengelus kepala kucing di pangkuannya.