Aku menatap kucing itu, tapi mataku tak bisa lepas dari wajah Raya. Bagaimana bisa seorang wanita sebaik dan seanggun ini ada di dunia? Dari dekat, aku bisa mencium aroma segar dari tubuhnya, seperti bunga yang baru dipetik. Tangannya halus saat menyentuh kucing berbulu putih bersih itu, setiap gerakan lembut seperti tarian.
Setiap sore, aku kembali. Selalu di tempat yang sama, selalu pada jam yang sama. Raya selalu ada di sana, setia memberi makan kucing-kucing liar yang seakan sudah menjadi bagian dari hidupnya. Aku tidak pernah bosan melihat bagaimana dia tersenyum lembut setiap kali seekor kucing mendekat. Ada sesuatu yang begitu damai dalam kebiasaannya itu, membuatku merasa bahwa dunia ini tidak seburuk yang sering kurasakan.
Rasa cintaku semakin tumbuh, tapi bukan karena penampilan fisik Raya semata. Itu karena hatinya yang penuh kasih, caranya berbicara pada kucing-kucing itu seolah mereka adalah teman-teman lamanya. Dan dalam diam, aku mulai merasa bahwa aku pun telah menjadi bagian dari hidupnya, meski hanya sebagai pengamat dari jauh.
Suatu sore, saat aku duduk tak jauh dari Raya, seekor kucing kecil berwarna jingga mendekatiku. Awalnya, aku hanya mengawasi kucing itu dari sudut mataku. Namun, kucing itu tampaknya ingin berteman. Ia menyapaku dengan mengeong kecil, lalu perlahan-lahan mendekat hingga duduk di sampingku. Tanpa berpikir panjang, aku mengulurkan tangan dan mulai mengelus bulu halus di punggungnya.
Kucing kecil itu mendengkur pelan, tampaknya menikmati sentuhanku. Perlahan, kucing-kucing lain yang biasa bermain di sekitar Raya juga mulai mendekatiku. Seekor kucing hitam dengan ekor melengkung bermain di kakiku, sementara seekor kucing belang-belang mulai menggigit ringan jariku. Tiba-tiba aku merasa seperti bagian dari dunia kecil yang diciptakan Raya untuk para kucing ini.
Raya, yang sedang memerhatikan dari dekat, tersenyum lembut. "Wah, kamu cepat sekali akrab sama mereka. Padahal kamu baru di sini," ujarnya dengan nada bercanda. Matanya berkilat ceria, memperlihatkan betapa senangnya dia melihat kucing-kucing itu nyaman di dekatku.
Aku hanya tersenyum malu, hatiku melonjak gembira mendengar pujian darinya. Rasa hangat menyelimuti dada. Bukan hanya karena aku berhasil mendekati kucing-kucing itu, tapi juga karena Raya melihatku. Dia benar-benar memperhatikan. Untuk pertama kalinya, aku merasa seolah-olah ada tempat untukku dalam hidupnya, meski hanya dalam lingkaran kecil ini bersama kucing-kucingnya.
Hari demi hari, interaksi kecil ini semakin mengikatku pada Raya dan pada kucing-kucing liar di tempat itu. Ada koneksi mendalam yang terbentuk tanpa kata-kata.
Sore itu, seperti biasa, aku dan Raya sedang duduk di tempat favorit kami---tepat di sudut taman, di mana pepohonan memberikan keteduhan bagi kucing-kucing liar yang datang silih berganti. Hari ini sedikit berbeda, karena aku tak lagi sekadar mengamati dari jauh. Aku sekarang berada tepat di samping Raya, ikut bermain dengan kucing-kucing yang mengelilingi kami.
Seekor kucing jingga kecil berlarian di antara kaki Raya, berusaha memanjat pangkuannya. Raya tertawa kecil, tangannya yang lembut mengelus bulu kucing itu dengan penuh kasih sayang. Di sampingnya, aku duduk tenang, merasakan kehangatan yang memancar dari tubuhnya.
Saat itu, dunia terasa begitu damai. Angin berembus lembut, membawa aroma rumput dan dedaunan, sementara suara para kucing yang mengeong kecil-kecil mengisi udara sore. Aku merasa sangat nyaman berada di sisinya, seolah-olah momen ini bisa bertahan selamanya.