***
30. 6 bulan Berlalu
Sore hari yang cukup cerah, setelah mengantarkan kerupuk-kerupuk pesanan para pelanggannya Wulan berjalan seorang diri di pantai, dilihatnya sekelompok anak-anak sedang bermain bola. Beberapa anak menyapanaya. Wulan tersenyum sambil melambaikan tangannya. Sesekali Wulan berhenti memikit kerang yang dilihatnya cukup menarik, diperhatikannya sesaat kemudian dilemparkannya ke arah laut. Saat itu dia melihat seorang laki-laki yang sedang berdiri memandang laut lepas.
“Aku seperti mengenalnya,” benak Wulan. “Badai! Ya dia Badai!” Tiba-tiba rasa senang menggelayuti prasaanya. Wulan pun berjalan ke arah laki-laki itu.
“Sedang apa kamu disini? Bukankah seharusnya kamu sedang mengajar anak-anak di pedalaman kalimantan?” tanya Wulan setelah berjarak kurang lebih sepuluh langkah dari laki-laki itu berdiri.
Laki-laki itu, yang tidak lain adalah badai menoleh sambil tersenyum. “Aku sedang menunggumu.” Wajah Wulan memerah mendengar perkataannya, hatinya bergetar, namun dia berusaha mengendalikan perasaannya. Setelah berjarak dua langkah dari Badai, Wulan pun menghentikan langkahnya. “Aku sudah menduga kamu pasti akan datang kesini.”
“Heh! Setiap hari aku datang kesini!” tukas Wulan sambil memperhatikan ransel besar di samping Badai. “Kamu minggat?!”
Badai tertawa. “Tidak. Aku baru datang bandara dan langsung kesini.”
“Kamu pulang dari kalimantan?” tanya Wulan dengan nada heran. Baruna mengangguk. “Kenapa tidak pulang ke rumah?”
“Kenapa memangnya? Tidak boleh?”
“Bukan begitu. Aneh saja, kamu langsung ke sini. Keluargamu sudah tahu kamu pulang?” Badai menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Tidak merindukan mereka?”