Lukman menemui Ramadhan di sebuah café.
“Bagaimana keadaan Sofie?” tanya Lukman.
“Dia masih sangat terguncang. Sekarang dia berada di Bogor di tempat bibinya agar bisa tenang.”
Lukman menghela nafasnya. “Semuanya memang berawal dari aku! Andai saja…..”
“Tidak ada yang perlu disesali, semuanya sudah terjadi. Penyesalanmu tidak akan membuat Baruna kembali.”
“Tapi anak itu. Baruna! Darah dagingku satu-satunya! Dia tdak bersalah apa-apa!”
“Nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada penyesalan yang datang diawal!” Ramadhan kemudian mengambil sebuah bungkusan berbentuk segi empat yang dibawanya dan menyerahkannya pada Lukman. “Bukalah!” Lukman menerimanya dan langsung membuka kertas pembungkusnya. Dia terpana melihatnya. “Itu Baruna! Aku memberikannya padamu. Itu adalah hasil karya temannya yang belum lama meninggal. Dia sangt mirip denganmu di lukisan itu.”
Lukman terdiam, matanya berkaca-kaca memperhatikan lukisan di tangannya.
***
Saat berada di dalam pesawat, Badai memikirkan kata-kata Wulan. “Perlu kamu ketahui, tidak hanya di daerah terpencil, di sini pun, masih banyak anak-anak yang perlu orang-orang sepertimu!”
Cuaca cerah. Pesawat pun terbang tinggi menembus awan menuju daratan Borneo.