Mohon tunggu...
Eka Dharmayudha
Eka Dharmayudha Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Pasca Sarjana Kajian Stratejik Ketahanan Nasional UI

Menyukai politik, sepakbola, dan menulis puisi. Kenal lebih dekat melalui instagram saya @ekadharmayudha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Deskripsi Anak Tongkrongan

6 Maret 2020   11:51 Diperbarui: 6 Maret 2020   12:17 2258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Meskipun dianggap sebagai kegiatan yang membuang-buang waktu, saya tetap memilih untuk meluangkan waktu agar bisa nongkrong. Ya karena aktivitas dari pagi hingga agak malam sangat padat, biasanya saya nongkrong sangat larut malam karena memang hanya waktu itu lah waktu yang sudah tidak ada lagi pekerjaan yang harus dilakukan.

Nongkrong di warung kopi sederhana di salah satu tempat yang menjadi pusat kebisingan kota Bandung membuka perspektif saya terhadap pergaulan masyarakat Indonesia. Tempat nongkrong saya ini tidak hanya menjadi tempat saya dan kawan-kawan saya untuk nongkrong, kadang ada beberapa warga lainnya, pegawai kantor, maupun pengunjung asing lainnya. Dari keramaian pengunjung inilah pengetahuan baru biasanya ditemukan.

Banyaknya stigma negatif yang melekat pada anak tongkrongan tidak membuat kami bingung. Bahkan tak pernah dihiraukan. Sesekali kita menjadikan itu sebagai bahan hiburan kita. Lumayanlah untuk tertawa bersama. Banyak yang mengira anak tongkrongan itu selalu ngobrol hal-hal sepele, hal-hal ngalor-ngidul, mabar, dan akhirnya membuat kita dianggap tak punya kapasitas untuk mengobrolkan hal-hal yang "cerdas." Tentu saja ini sebuah pelabelan yang sangat tidak masuk akal bagi anak tongkrongan. Lalu bagaimana sebenarnya anak tongkrongan itu? Apa-apa saja percakapan yang dilakukan sehari-harinya? Benarkah kita hanya bicara hal-hal sepele? Mari kita buktikan.

Anak Tongkrongan adalah Pemalas yang Cerdas

Banyak yang memberikan label bahwa anak tongkrongan adalah anak yang pemalas.

Toh hal tersebut tidak akan saya bantah karena saya pun pemalas juga. Cuma ada satu hal yang terlewat dari para pelabel ini, yaitu bahwa kami adalah pemalas yang cerdas. Bagaimana bisa pemalas yang cerdas? Pemalas disini bukan berarti kami adalah orang yang sukanya santai-santai, malas bekerja, ataupun mengeluh tanpa tindakan terhadap problem. Pemalas disini artinya kita tidak suka segala sesuatunya menjadi rumit.

Guna memastikan segalanya menjadi sederhana, kami memastikan bahwa segalanya harus menghindarkan kita dari kesusahan. Unik memang, walaupun memang kadang-kadang pasti kita akan menerima kesusahan, tapi dengan karakter pemalas yang kita miliki, otak kita bekerja sangat maksimal untuk membuatnya sederhana dan membuat problem itu mampu diselesaikan secara rasional. Untuk itu, kawan-kawan disini memperkaya diri mereka dengan pengetahuan sebanyak-banyaknya dan mempraktekannya sesering mungkin. Inilah yang menjadikan kita sebagai pemalas yang cerdas.

Lintas Generasi

Angkatan 2010 menjadi angkatan yang paling tua di tongkrongan kami, dan angkatan 2018 menjadi angkatan yang paling muda. Lintas generasi ini menjadi sebuah keuntungan yang luarbiasa dari tongkrongan. Banyak pengalaman hidup yang bisa diperbincangkan setiap harinya. Yang lebih tua bisa bercerita dan berkeluh kesah tentang kehidupan mereka dan yang muda mendengarkan dengan seksama sembari mencoba menghubungkan dengan sedikit pengalamannya. Lalu yang muda bisa juga meminta saran kepada yang lebih tua perihal masalah-masalah baru yang pertama kali dihadapi oleh yang muda ini. Tak ketinggalan yang muda juga bisa memberikan pandangan alternatif terhadap yang lebih tua terhadap problematika hidup. Hal ini yang tak pernah dilihat sebagai keunggulan tongkrongan. Dengan adanya lintas generasi dan pengalaman-pengalaman kehidupan membuat percakapan menjadi sangat kaya dan beragam.

Lintas Disiplin Ilmu

Ini mungkin menjadi salah satu yang membuat saya kaya akan pengetahuan.

Jujur saja, saya bukan orang yang suka membaca buku. Biasanya saya membaca buku itu ketika menemukan suatu isu dan membutuhkan teori sebagai basis kajian. Kalau tidak ada itu, saya tidak akan membaca buku. Nah, lintas disiplin ilmu diantara anak tongkrongan membuat pengetahuan-pengetahuan itu saling melengkapi.

Saya suka bertanya tentang filsafat arsitektur dan seni kepada kawan saya yang arsitek dan pegiat seni. Mereka suka meminta pendapat saya tentang isu-isu politik yang berkembang. Kadang juga kita sama-sama memberikan pendapat terhadap suatu fenomena sosial dari berbagai perspektif keilmuan kita. Ini lah yang kadang, terutama, orang-orang tua kita ataupun masyarakat umum lainnya tidak melihat secara utuh. Bayangkan saja, hampir 80% kita berbeda disiplin ilmu, bukankah itu sebuah kekayaan yang tak ternilai harganya?

Keberagaman Permasalahan Hidup

Karena lintas generasi, lintas disiplin ilmu, lintas hobi dan passion, menjadikan kita memiliki permasalahan hidup yang beragam. Keberagaman itu membuat kita saling mengisi kekurangan guna menyiapkan diri menghadapi permasalahan yang sama dikemudian hari ataupun membantu kawan kita di tempat lain terhadap permasalahan yang sama. Ini yang agak sulit didapatkan di tempat lain.

Frekuensi permasalahan hidup sangat tinggi menghiasi percakapan sehari-hari kita di tongkrongan. Permasalahan tersebut tak hanya sampai pada dibicarakan saja, tetapi sampai pada solusi-solusi konkret untuk dilakukan. Ya sedikit-sedikit dijadikan bahan bercandaan agar menghidupkan suasana, toh stress juga kita kalau setiap hari serius mulu obrolannya. Permasalahannya sangat beragam. Mulai dari yang umum seperti kuliah, pekerjaan, dompet tipis, hingga yang khusus seperti istri, keluarga, dan cinta. Ya kita juga banyak lah menyimpan rahasia-rahasia lucu, memalukan, dan kelam dari masing-masing kita.

Kesimpulan Awal menuju Keseriusan Lainnya

Dengan segala kekayaan awal yang kita miliki sebagai anak tongkrongan, menghadapi kerasnya kehidupan sudah (hampir) siap kita lalui. Yang lebih muda menjadi lebih kaya akan pengetahuan kehidupan, yang lebih tua bisa mendapatkan perspektif baru dari cara berpikir generasi dibawahnya. Mungkin memang benar kita kadang-kadang adalah pusat kebisingan lingkungan, maupun orang-orang malas yang memang hanya membuang-buang waktu, tapi dibalik itu semua ada kekayaan yang tidak pernah bisa dilihat masyarakat awam dan kekayaan itu menjadikan kita mampu melihat sedikit dari tantangan di masa depan. Toh selama identitas pemalas yang cerdas kita pegang hingga akhir hayat, bukan tidak mungkin kita para anak tongkrongan akan memegang peran penting dalam pembangunan bangsa. HIDUP ANAK TONGKRONGAN!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun