Mohon tunggu...
Eka Damayanti
Eka Damayanti Mohon Tunggu... -

Mahasiswi Ilmu Budaya UGM

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Problematika (Perkembangan) Bahasa Indonesia terhadap Identitas dan Kualitas Bangsa

25 September 2012   12:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:43 2400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENGANTAR

Kebanggaan menjadi warga suatu negara dapat dicerminkan melalui cara berbahasa. Di luar konteks kebahasaan, bahasa setiap orang memiliki kekhasannya masing-masing, baik secara dialektismaupun dialogis. Hal itu menjadi kebanggaan tersendiri yang mampu memacu semangat kebangsaan yang tersirat maupun tersurat dalam bahasa yang digunakan oleh penuturnya. Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa semangat kebangsaan dapat ditunjukkan dengan sikap transformatif yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di negara tempat tinggalnya.

Sebagaimana manusia, bahasa juga mengalami eskalasi dan retardasi yang berimplikasi pada pertumbuhan dan perkembangan bangsa yang mengampunya. Kebahasaan memiliki korelasi yang kuat dalam membentuk kebanggaan terhadap identitas kebangsaan warga suatu negara. Dinamika bahasa Indonesia sejak awal pertumbuhannya mengalami berbagai gejolak, baik gejolak dari dalam maupun dari luar. Kebaikan dan kebenaran bahasa Indonesia yang selama ini dikampanyekan oleh Balai Bahasa mulai dipertanyakan efektivitasnya. Korosi sporadis dalam berbahasa mulai menunjukkan berbagai implikasi yang terkait terhadap fungsionalitas Bahasa Indonesia sebagai identitas prinsipiil Bangsa Indonesia.

EKSISTENSI DAN RESISTENSI BAHASA INDONESIA

Eksistensi bahasa Indonesia mengalami resistensi sekaligus fluktuasi. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Diantaranya kemajuan teknologi dan perkembangan ekonomi, kedua hal tersebut serta merta membawa gejolak-gejolak dalam berbahasa. Kemajuan teknologi menghadirkan ambivalesi terhadap ekspektasi dalam berkomunikasi secara baik dan benar. Kebaikan dan kebenaran itu pun tidak mutlak bisa diposisikan sebagai rangkaian seri karena keduanya kadang kala memenangkan maupun mengalahkan yang lain. Dalam praktiknya di lapangan, bahasa yang baik belum tentu benar begitu pula bahasa yang benar belum pasti baik, hal ini tidak lain karena terdapat kecenderungan masyakat dalam berbahasa. Bahasa digunakan untuk menyampaikan isi pikiran dengan cara yang paling nyaman. Sehingga orang akan lebih memilih kenyamanan daripada kejujuran dalam berbahasa. Fungsi komunikatifbahasa menjadi penekanan utama dalam pengunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berbeda dari penggunaan bahasa baik dan benar yang dikampanyekan oleh Balai Bahasa.

Para komunikator maupun komunikan akan menggunakan bahasa yang komunikatif daripada harus menggunakan bahasa baku tetapi justru menimbulkan jarak keakraban. Hak prerogatif dimiliki oleh setiap individu dalam berbahasa. Pemilikan bahasa Indonesia tidak bisa disandarkan pada individu ataupun kelompok masyarakat tertentu saja. Hal ini menjadi salah satu fakta bahwa bahasa bersifat demokratis serta dinamis.

Demokratisasi Bahasa Indonesia mampu mengakomodasi ekuivalensitas masyarakat Indonesia. Hal ini tampak dari pengukuhan bahasa Indonesia sebagai bahasa kesatuan yang diikrarkan oleh para pemuda Indonesia dalam sebuah deklarasi sumpah pada tanggal 28 Oktober 1928.Tujuh belas tahun jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, pengikraran tersebut sebagai bukti bahwa telah dibentuk identitas ke-Indonesiaan jauh sebelum terbentuk kemerdekaan. Yang pada akhirnya kesatuan dan identitas ke-Indonesiaan tersebut menjadi motor penggerak untuk menyongsong kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tulisan ini memaparkan persoalan perkembangan kebahasaan Indonesia sebagai relevansi idealitas dan kualitas bangsa, yang berimplikasi pada jati diri serta kadar berkebangsaan yang dimiliki oleh setiap warga negara kesatuan republik ini.

REKONSEPSI KONSTELASI BAHASA INDONESIA

Bahasa Indonesia yang digunakan secara sadar tentu akan mampu mengakomodasi eskalasi yang positif. Namun sebaliknya, jika penggunaan bahasa tersebut tanpa diiringi kesadaran maka tentu akan berdampak pada retardasi yang negatif. Sehingga diperlukan pengkajian ulang terhadap kebahasaan agar bisa memberikan sajian cemerlang dalam lingkup kebangsaan. Idealitas tatanan dalam berbahasa memiliki kompresi dari berbagai segi. Dari pihak komunikator maupun pihak komunikan, baik secara individu maupun kelompok memiliki peran yang signifikan dalam membentuk idealisasi kualitas (ber)bangsa.

Di tengah-tengah masyarakat yang telah sudah dan akan berorientasi global ini, polemik kebahasaan dan kebangsaan menjadi hal yang jauh dari konklusivitas. Selain itu, kompleksitasnya juga bukan merupakan suatu hal yang mudah untuk sekadar dipertanyakan maupun dipernyatakan hanya dalam sebuah rumusan. Sehingga pembiaran terhadap masalah kebahasaan akan berdampak pada problematika identitas dan kualitas kebangsaan yang konsepsif-manipulatif.

Sebagai bahasa yang aglutinatif dan sintetis, Bahasa Indonesia tampak tidak pernah mengalami degradasi kosa kata. Bahkan kuantitas kosa kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terus-menerus mengalami eskalasi yang signifikan. Meskipun kosa kata yang ada di luar kamus bahasa pun bertebaran dalam budaya tutur masyarakat. Secara lisan dan tulisan, bahasa memiliki porsi yang berbeda dalam keintimannya terhadap individu pengguna bahasa. Bahasa lisan cenderung aplikatif sesuai dengan konteks, bahasa tulisan umumnya memiliki beban yang lebih berat dari bahasa lisan, karena adanya proses ketidakberlangsungannya. Sehingga ambiguitas lebih sering ditemui dalam bahasa tulis, karena kurang atau tidak adanya konteks yang mendukung pemaknaannya.

BAHASA CERMIN SUATU BANGSA

Seiring dengan perkembangan nasionalisme, bahasa turut sertaberkonsolidasi dalam mempererat persatuan dan kesatuan. Ejaan pun berubah, kosa kata pun bertambah, ada yang mengalami perluasan makna ada pula yang mengalami penyempitan makna. Eskalasi dan retardasi tidak bisa dihindari dalam kebahasaan. Bahasa pergaulan dalam kalangan remaja mengalami fluktuasi setiap masa. Hal ini berkorelasi dengan gaya yang sedang tren di masa itu. Remaja masa kini bisa dibilang sedang sibuk dengan bahasa ‘galau’ mereka, kondisi ini secara implisit menunjukkan realitas yang ada dalam jiwa ke-bangsa-an mereka.

Bentuk ke-bangsa-an lainnya tampak pula pada penamaan anak-anak Soekarno. Dalam menamai anak-anaknya, Soekarno memakai nama-nama yang memiliki daya apresiatif tentang kealaman. Sebut saja Guntur, Guruh, Mega, dan Sukma, nama-nama tersebut tampak melepaskan diri dari konteks lokalitas yang kemudian berasosiasi terhadap nasionalitas. Meskipun tidak menutup kemungkinan adanya pretensi orang tua terhadap idealitas individualitasnya sendiri. Peng-Indonesia-an nama juga banyak dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat, seperti penyanyi dan penulis lagu Melly Goeslow yang menamakan anaknya Anakku Lelaki, Iwan Fals yang menamakan anaknya Galang Rambu Anarki, perubahan nama aktris Rima Melati yang sebelumnya bernama Lintje Tambayong, sertaberbagai nama Indonesia lainnya.

RELEVANSI DAN REALITAS BAHASA YANG BAIK DAN BENAR

Dalam perkembangannya, Indonesiais tidak terbatas hanya dalam hal penamaan saja. Dari kalangan remaja, telah melahirkan bahasa baru yang hanya bisa dimengerti oleh teman sepermainan mereka saja. Bahasa sms, bahasa chatting, twitter, facebook, serta bahasa gaul yang kemudian familiar disebut sebagai bahasa alay yaitu akronim dari anak layangan. Remaja sebagai pemegang tongkat estafet kemajuan bangsa memiliki posisi sentral dalam membawa arah suatu bangsa. Bahasa gaul remaja dikomunikasikan sebagai bentuk identitas keremajaannya, hal ini berbeda dengan bahasa anak-anak maupun orang tua. Lingkungan tempat tinggal, profesi, tingkat ekonomi, pendidikan, serta berbagai latar belakang lainnya menjadi pembeda bahasa antar individu maupun antar kelompok.

Aktivitas dan kreativitas para remaja dalam menciptakan bahasa baru dalam lingkungan pergaulannya, selain memberikan efektivas juga telah melahirkan disparitas dalam kebahasaan. Hegemoni media massa tidak terlepas dalam keterkaitannya dalam mempersuasi gaya bahasa para remaja. Para publik figur lengkap dengan berbagai gesturnya secara total diimitasi oleh para remaja yang ekspresif menggemarinya. Slogan-slogan yang bertebaran pun lantas menjadi bahan bahasan dalam setiap kesempatan obrolan oleh masyarakat. Kewajiban Bahasa Indonesia sebagai unsur penyatu tampaknya mulai tergerus oleh kapitalisme.

Para remaja masa kini justru lebih interes mengikuti kursus-kursus bahasa asing yang dianggap lebih prestisius, seperti Inggris, Jepang, Mandarin, dan yang tidak kalah diminati akhir-akhir ini adalah Bahasa Korea. Bahkan dalam percakapan sehari-hari tampak telah terjadi dwibahasa dalam masyarakat Indonesia secara umum. Kedwibahasaan itu bukanlah Bahasa Inodonesia dan Bahasa lokal (daerah) tetapi bahasa asing terutama Bahasa Inggris. Sebagai bahasa internasional, Bahasa Inggris diasumsikan oleh masyarakat sebagai bahasa yang berkelas, bahasa intelektual. Sehingga Bahasa Indonesia tampak dianaktirikan oleh Bangsa Indonesia sendiri. Dalam hal ini kebijakan pemerintah melalui bidang pendidikan telah berkontribusi penuh dengan menetapkan diberlakukannya sekolah-sekolah bertaraf internasional yang proses belajar mengajarnya menggunakan Bahasa Inggris.

SIMPULAN

Himbauan dari Pusat Bahasa untukmenggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar tampak sudah tidak terlalu keras gaungnya saat ini. Masyarakat hanya mementingkan nilai praksisnya saja dalam berkomunikasi antar sesamanya. Maka akan terkesan diskordans jika dalam percakapan sehari-hari harus berbahasa Indonesia yang baik dan benar, karena dinilai tidak sesuai dengan kepraksisan dalam berbahasa. Sebagai contoh yaitu jika ada seseorang mencoba menawar ongkos becak untuk ditumpangi menuju Mirota Kampus tentu orang tersebut akan langsung berkata kepada tukang becaknya seperti ini “Pak, Mirota Kampus berapa?” dan si tukang becak sudah tentu akan mengerti hal yang dimaksud. Hal ini tentu akan aneh jika si penawar jasa tukang becak justru berkata seperti ini “Selamat siang Pak, saya mau ke Mirota Kampus. Kalau saya menggunakan jasa becak Bapak, berapa ya saya harus membayar?”.

Koteks dan konteks dalam berkomunikasi memiliki perbedaan yang informatif, namun keduanya sama-sama saling terkait erat, saling mendukung satu dengan yang lain. Sejak awal kemerdekaan negeri ini realitas berbahasa tampak lebih didominasi dengan idealitas penguasa. Proses pengkromoan (jawanisasi) bahasa Indonesia tampak dari berbagai kosa kata yang diucapkan secara langsung maupun tidak langsung oleh para pejabat pemerintah negeri ini. Dan ironisnya hal tersebut menjadi suatu hal yang dimaklumi bersama. Tidak ada sanksi dari tindakan tersebut, padahal bukan tidak mungkin bahwa intelektualitas para pejabat tentu sudah teruji sebelum menjadi pejabat dan menerima jabatan.

Problematika penggunaan Bahasa Indonesia dapat ditemukan dalam berbagai hal. Dalam media periklanan pun banyak dijumpai penomorduaan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tak lebih hanya sebagai aksesori yang ditempel dibagian mikro dari bagian makro yang ada. Persyaratan mahir berbahasa Inggris dalam hampir setiap lowongan pekerjaan merupakan hal yang logis sekaligus ironis di tengah-tengah negara berbahasa dan berbangsa Indonesia.Sekarang ini tidak ada lowongan pekerjaan yang mensyaratkan mahir berbahasa Indonesia pasif maupun aktif. Anggapan bahwa semua orang Indonesia mampu berbahasa Indonesia tampaknya telah menghegemoni masyarakat untuk memarginalkan bahasanya sendiri. Padahal kemampuan berbicara sangat dependen dengan kemampuan berbahasa. Berbahasa mengarah pada sifat transitif sedangakan berbicara lebih mendekat pada sifat intransitif.

Selain itu, dalam pergaulan sehari-hari juga tampak kebanggaan yang ekspresif ketika mampu melontarkan sepatah dua patah kata dalam bahasa asing, atau bahkan secara keseluruhan kalimat percakapan. Pada kesempatan lain bahasa daerah dimunculkan ketika terjadi emosional tingkat tinggi sebagai bentuk luapan perasaan. Ambiguitas sikap dalam berbahasa berlangsung sebagai cermin diskresi diri masing-masing pribadi. Hal ini menjelaskan bahwa persoalan harmonisasi berbahasa memungkinkan keseiramaan dengan lokalitas, nasionalitas serta globalitas. Kemungkinan adanya mediasi dalam meditasi berbahasa dan berbangsa menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat Indonesia.

Sebagai negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa, Identitas dan kualitas bangsa Indonesia dapat tercermin dalam penggunaan bahasa Indonesia oleh masyarakatnya. Bahasa tidak hanya sebagai identitas tetapi juga sebagai pemersatu, pengukuh budaya, dan pengikat rasa kebangsaan dan kenegaraan. Selanjutnya persoalan pembangunan identitas yang berkualitas dan tetap seiras dengan harmonitas kebanggaan berkebangsaan menjadi kontemplasi bersama seluruh warga negara.

Oleh: Eka Damayanti, Mahasiswa Ilmu Budaya UGM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun