Pagi hari yang indah dan cerah disertai harum semerbaknya bunga melati dan bunga mawar beraneka warna menjadikan halaman rumah Ibu Hapsari terlihat asri dan alami. Rumah sederhana berukuran 10X10 meter dengan warna hijau terang yang mendukung suasana alami di rumah itu. Rumah berperpenghuni dua orang ini terasa sangat damai, suami Ibu Hapsari meninggal dunia kira – kira dua tahun lalu akibat penyakit stroke dan meninggalkan seorang anak gadis yang berparas ayu dengan tinggi 160 cm dan berat 53 kg bernama Pritha Dewi. Nama itu diambil ayahnya dari nama tokoh dalam cerita Mahabharata yaitu Pritha. Pritha adalah nama lain Dewi Kunti, Ayahnya ingin kelak Pritha akan memiliki sifat seperti Dewi Kunti, halus, sabar dan pengasih.
Namun, gejolak mulai muncul setelah Pritha lulus SMA, Ibu Hapsari ingin prita mengambil beasiswa kedokteran yang ditawarkan oleh perusahaan tempat ayahnya bekerja dulu. Karena prestasi Pritha bagus dan ayahnyapun termasuk kariawan andalan di Great Advertising
“ Mama, Pritha nggak pengen jadi dokter. Pritha pengen jadi pemain badminton “ Kata Pritha yang mulai habis kesabarannya karna paksaan Mamanya. “ Mama tahu Tha. Tapi, jalani dulu lah kesempatan ini nggak datang untuk kedua kali dan kalau kamu jadi dokter masa depan kamu akan terjamin “ Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Pritha langsung masuk kamar dan menyambar HPnya. Malam itu pertikaian antara Pritha dan Mamanya membuat burung – burung malam berhenti bersenandung ria. Memang saat ayahnya masih hidup beliau biasa memanjakan Pritha.
Satu pesan diterima :
Disty Criwiz
Tha, jangan lupa besok ada pertandingan badminton remaja. Eh gue denger2 yang menang masuk pelatnas lho......Semangat ya lo pasti bisa.
Sejenak Pritha menundukkan kepala, pikirannya melayang – layang diselimuti kabut hitam dia ingin ikut pertandingan itu. Tapi, dia tidak ingin bertanding tanpa restu mama. Dibuka jendela kamarnya dan ditatapnya bintang yang paling terang. “ Ayah, Ayah tahukan Pritha pengen banget ikut turnamen ini, andai aja Ayah masih ada Ayah pasti bisa ngeyakinin Mama “ Batin Pritha sambil memandang langit dan bintang yang paling terang. Pritha selalu percaya bahwa ayahnya pasti selalu ada di sampingnya dan menjaganya seperti saat dia masih kecil. Saat Pritha belajar bersepeda dan terjatih ayahnya segera berlari dan bericara dengan halus kepada anaknya. “ Pritha jangan nangis, nanti kalau Pritha nangis sepedanya nggak mau dinaikin Pritha lagi lho “. Lalu ayahnya membelikannya ice cream kesukaannya. Ingatannya dengan masa lalunya itu membuat Pitha tak bisa menghentikan lagi air matanya yan turun deras.
Setelah lama menatap langit Pritha akhirnya memutuskan dia akan ikut turnamen itu apapun resikonya. Pritha ingin menggapai cita – citanya. Setelah itu dia mulai menyiapkan segala peralatan buat pertandingan besok, tidak lupa Pritha bersujud dan menghadap Allah sebelum tidur.
Pagi – pagi sekali Pritha bangun tidur, racketnya dijatuhkan lewat jendela agar mamanya tidak tahu dan kemudian Pritha berpamitan dengan mama. “ Ma, Pritha jogging dulu ya, kayaknya nanti Pritha pulang telat, soalnya ada janji buat nemenin Disty, orang tuanya pergi ke Bandung “ Kata Pritha yang sebenarnya hatinya sangat kacau karena berbohong dengan orang tuanya. “ Iya hati – hati ya “ Kata Ibu Hapsari, Pritha hanya menganggukkan kepala dia tidak ingin berkata apa – apa lagi. Setelah itu diambil raketnya yang telah dijatuhkan lewat jendela dengan hati – hati.
Sesampainya di lapangan hatinya tambah kacau. Perasaan bersalah muncul karena telah menentang orang tuanya, dilain sisi Pritha nervous karena ini pertandingan berat yang sudah lama ia tunggu. Pritha berusaha keras menahan gejolak hatinya yang seolah – olah terus meluncur meletupkan pikirannya.
Pertandingan pertama dimulai tanpa perlawanan yang berarti, demikian juga pertandingan – pertandingan berikutnya. Pritha dengan mudah dapat menaklukkan lawannya. Pritha terlalu tangguh untuk dikalahkan, setiap hari dia berbohong kepada mamanya. Walaupun sebenarnya dia tidak ingin melakukan itu. Semua ini dilakukannya dengan terpaksa.
Hari Selasa jam 8 pagi Ibu Hapsari pergi berbelanja ke pasar untuk kebutuhan sehari – hari dengan suasaha hati yang cerah, rencananya pagi ini dia akan memasak makanan kesukaan putri tunggalnya. Dua jam di pasar cukup untuk membeli kebutuhan dapur. Ibu Hapsari pulang dari pasar mampir di toko roti untuk membeli roti kesukaan Pritha. Tapi, ada kerumunan orang – orang yang bersorak di dalam Gedung Gajah Mada dan membuat hatinya bertanya. Dalam benak Ibu Hapsari berkata kalau Pritha pasti ada di sana soalnya Pritha senang sekali melihat pertandingan – pertandingan olahraga. Dihampiri kerumunan itu, matanya cukup terbelalak melihat pemandangan yang tersaji di depannya. Perasaan Ibu Hapsari campur aduk seperti karang yang diam di tengah sorak sorai sang ombak. Marah, jengkel dan sedih karena putrinya sudah bisa berbohong dengannya. Namun, di sela – sela rongga hatinya terselip rasa bangga. Tapi, setelah matanya melirik sekor di papan sekor hatinya mulai cemas. Ya Tuhan, Putrinya tertinggal 2 angka dengan lawannya 16 – 18 dan ini adalah set terakhir sebagai penentuan Pritha dapat masuk final atau tidak. Doanya terus mengalun untuk Pritha, sejenak dia melupakan rasa jengkel dan marah. Dan doa tulus seorang Ibu tidak terkalahkan oleh apapun. Setelah bersusah payah Pritha berhasil mengakhiri set penentuan dengan sekor 21-19, angka yang cukup mendebarkan. Pritha tidak menyadari kalau sebenarnya mamanya ada di tengah – tengah orang yang telah mendukungnya tadi.
“ Weitzz, selamat ya Tha kamu tu emang yang paling hebar dech “ Kata Disty yang langsung nylonong mendekati Prita setelah pertangdingan berakhir.
“ Makasih ya kamu selalu ngedukung aku “
“ Pastinya donk, eh Tha masak tadi aku katak ngeliat mamah kamu dech “
“ Salah lihat kali masak mamahku di sini “ kata Pritha sambil beranjak pulang dan Disty langsung mengekor di belakang Pritha.
“ Assalamualaikum, Mama ngapain di teras sendirian ?” Tanya Pritha. Tapi, melihat ekspresi mamanya yang diam seribu bahasa Pritha mulai merasa aneh. Lima menit kemudian “ Siapa yang mengajari kamu berbohong?“ Pritha kaget mendengar mamanya bertanya seperti itu. “ Ma, Prtitha mohon ijinkan Pritha ikut turnamen ini, Pritha janji setelah ini Pritha akan menuhin keinginan mama buat kuliah di kedokteran, Pritha janji Ma “ Ibu Hapsari hanya diam saja dan Pritha masuk ke kamar dengan kepala tertunduk. Pritha menangis sejadi – jadinya, perasaan bersalah yang telah lama dipendamnya kini menyeruak. Ibu Hapsari mengintip putrinya yang sedang menagis. Hatinya tergores cukup dalam tapi, semua ini dilakukan demi kebaikan putrinya. Ibu Sari tidak ingin nasib anaknya seperti atlit – atlit kawakan yang habis manis sepah dibuang, mungkin saat berjaya semua orang memuji – muji tapi, setelah tua dan tidak berdaya tidak seorangpun yang sudi meliriknya.
Pritha bingung memikirkan cara untuk meminta ijin kepada mamanya, Final dilakukan di luar kota dan pemain yang ikut final akan diasramakan. Pritha akan tinggal di luar kota selama lima hari, hatinya berat untuk meninggalkan mama di rumah sendirian. Akhirnya dia memberanikan diri untuk bilang ke mama “ Ma, final pertandingan bulu tangkis dilaksanain di Tangerang selama lima hari, Mama ngijinin Pritha pergi kan ? “
“ Apa boleh buat, Kapan kamu berangkat ? “ Tanya mamanya sambil sibuk membolak – balik tempe goreng.
“ Besok “
“ Ya udah kamu siap – siap dulu sekarang “
Pritha senang mendengar mamanya mengijinkannya walaupun, dia tahu mamanya tidak sepenuhnya mengijinkannya.
“ Iya ma “
Tiga hari sudah Pritha di asrama dan besok pertandingan finalnya. Malamnya Pritha menelfon mamanya meminta doa dan restu. Terdengar suara mamanya di seberang yang terdengar agak serak. “ Mama sakit ya ? “ Tanya Pritha dengan penuh rasa khawatir. “ Cuma agak sedikit flu saja, soalnya tadi malam hujannya deres banget, Pritha nggak usah kawatir sama mama, mama sudah pergi ke dokter kok “ Kata – kata mamanya membuat Pritha agak sedikit lega.
Setelah itu Pritha menelfon Disty, sahabatnya. “ Nyantai aja Tha, doa gue selalu buat elo “ Disty ngomong panjang lebar dan itulah kebiasaan Disty.
“ Munpung ditelfon, kan nggak ngeluarin pulsa jadi gue bisa ngomong sepuas gue “ Pritha sudah hafal dengan kebiasaan Disty langsung aja menekan tombol merah di HaPe nya tanpa pamitan.
Pertandingan finalpun dimulai, Pritha berjuang sekuat tenaga. Tapi, entah kenapa suasana hatinya tiba – tiba betubah. Perasaannya kacau dan konsentrasinyapun buyar, tiba – tiba dia merasa ingin pulang dan memeluk mamanya. Set pertama berhasil dimenangkan Pritha dengan sekor 21 – 16. Tapi, set ke dua Priha kalah dengan cukup telak dengan sekor 21 – 10 untuk kemenangan lawan. Set ke tiga Pritha tidak ingin kalah, dihibur hatinya dan dia berkata dengan dirinya sendiri. Aku nggak boleh buat mama kecewa, aku ingin mama bangga. Dengan semangat mudanya yang meluap – luap dan kecintaannya kepada mama, Pritha berhasil menjadi juara dengan sekor 21 – 17 untuk set kemenangannya. Medali emas dan uang sebesar dua belas juta rupiah untuk juara pertama berhasil disabetnya, Pritha berencana uangnya akan digunakan untuk berobat mamanya yang belakangan diketahui mamanya mengidap darah tinggi.
Pritha pulang dengan hati bahagia, bangga dan kekawatiran tetap bergelayut di benaknya. Diapun tidak mengerti mengapa suasana hatinya seperti diselimuti awan kelabu penuh duka. Kekawatirannya semakin bertambah besar saat sampai di depan rumahnya. Orang – orang datang dan pergi dari rumahnya dengan baju hitam dan berkerudung, tiba – tiba Ibu Siti yaitu sahabat mamanya Pritha datang menghampirinya “ Sabar ya sayang, mamamu sudah pulang di sisi Allah dengan senyuman “ Dengan setengah sadar Pritha menghambur ke jenazah mamanya dan menangis sesungukkan.
“ Mama jangan tinggalin Pritha, Pritha nggak mau sendirian Ma, Pritha pengen ikut mama dan ayah, bawa Pritha juga Ma, bawa Pritha “ Kata Pritha di sela – sela tangisannya.
Pukul 2 siang mamanya dimakamkan, Pritha mengiringi mamanya ke peristirahatan terakhir dengan berusaha menahan tangisan. Ditaburkannya bunga yang tujuh warna di makam mamanya dan sebelum Pritha pergi dia mencium nisan mamanya dengan setetes air mata cinta. Tidak pernah terpikir sebelumnya dia akan hidup tanpa kedua orang tuanya. Pritha Dewi gadis lugu yang harus melalui berbagai macam warna kehidupan sendiri tanpa orang yang sangat disayangi. Pritha merasa hidup ini tak adil baginya tapi, dia segera membuang jauh – jauh perasaannya itu. Dia mengertiAllah pasti punya rencana lain di balik ini semua. Pritha akan tumbuh menjadi gadis cantik yang tangguh dan sabar.
Dibukanya surat dari mamanya yang dititipkan ke Ibu Siti sebelum mamanya menutup mata untuk selamanya. Pritha membaca surat mamanya di malam yang penuh duka.
Sayang, Mama bangga sama kamu Nak. Maafkan Mama karena Mama nggak bisa menyambut kemenangan kamu dengan pelukan. Tapi, Mama tetap tersenyum untukmu. Pritha pasti bisa bertahan dan tumbuh menjadi gadis yang cantik, tegar dan mandiri. Mama tidak ingin memaksa Pritha untuk kuliah di kedokteran. Sayang, Maafin Mama, Mama sudah memaksa kamu. Pritha sekarang jalani saja apa yang menurut Pritha benar. Mama dan Ayah selalu di sisi Pritha. Dan kami akan bersinar untukmu seperti bulan dan bintang saat malam datang serta Mama dan Ayah akan tersenyum menyambut keberhasilanmu. Mama dan Ayah sayang Pritha. Pritha harus tetap bertahan dan tumbuh menjadu gadis yang kuat.
Pritha harus menentukan masa depannya sendiri tanpa orang tuanya. Hidup ini nggak selalu berjalan dengan indah tapi, biarlah semua mengalir seperti air. Dan Pritha memutuskan menerima beasiswa kedokterannya. Tapi, dia tidak akan pernah meninggalkan hobinya bermain badminton. Dan suatu saat nanti Pritha ingin mendirikan praktek di daerah terpencil yang kesehatan penduduknya kurang diperhatikan. Semua kebutuhan kuliahnya telah ditanggung oleh Great Advertising dan Pritha berusaha mencari uang tambahan untuk memenuhi kebutuhannya sehari – hari dengan bekerja menjadi pelayan restoran sifut. Dimalam yang terang dengan sinar bulan Pritha tersenyum.
“ Yah, Ma, Pritha bangga jadi anak Ayah dan Mama “ Kata Prita dengan memandang sinar bulan dan memeluk foto Ayah dan Mamanya dan sekali lagi Pritha tidak bisa membendung lagi air matanya. Pritha menyendiri di kamarnya sedangkan saudara – saudaranya berada di luar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H