Mari kita memulai diskursus ini dengan dua studi kasus. Studi kasus pertama; Beberapa jam sebelum esai ini ditulis, terdapat sebuah video reels Instagram yang menayangkan tips awal membangun rumah di tengah areal bekas persawahan.
Beberapa caranya pun disebutkan, seperti membayar jasa arsitek bersama RAB-nya, membeli pasir, hingga membangun tembok pagar lebih dahulu. Pada kolom komentar paling atas, terdapat respon salah satu warganet yang kurang lebih begini: "Tolong jangan menormalisasikan membeli tanah bekas sawah."
Statement itu direspon oleh beberapa warganet lain yang saling mempertanyakan apa alasannya, ternyata Si Pemantik mengatakan bahwa jumlah sawah sudah semakin habis demi pembangunan rumah. Diskusi pun diakhiri dengan kalimat oleh salah satu warganet lainnya: Pemilik tanah memiliki hak atas tanahnya, maka bebas untuk digunakan apa saja.
Studi kasus kedua; Catatan Najwa, sebuah acara berbasis YouTube yang dipandu oleh Najwa Shihab, sempat mengundang salah satu pasangan calon dalam Pemilihan Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ) 2024, Ridwan Kamil-Suswono. Terlepas dari dinamika politik akhir-akhir ini, terdapat satu bagian yang menyinggung soal pertanian dalam video berdurasi 51 menit tersebut.
Suswono, selaku calon wakil gubernur yang juga mantan Menteri Pertanian, mengatakan bahwa beberapa program kerja mereka akan berfokus pada agrikultur dan ketahanan pangan, salah satunya "menghidupkan" urban farming pada lahan-lahan terlantar di Jakarta, khususnya gedung-gedung pemerintah, yang tak lama lagi akan ditinggalkan sebab perpindahan ibu kota ke Nusantara.
Melalui dua studi kasus tadi, bisa kita tarik beberapa poin pentingnya; terdapat lahan pertanian yang "disulap" menjadi bangunan, dan di sisi lain, terdapat bangunan-bangunan yang justru "berupaya" dijadikan lahan pertanian. Jika menggunakan analisis jangka pendek, bisa saja hal itu dianggap untuk mempersiapkan inovasi baru pertanian masa depan, di tengah daratan yang terus menyusut oleh air laut serta tanah yang semakin tandus.Â
Hanya saja, bangunan-bangunan yang beralih menjadi lahan pertanian, tak semasif perubahannya dibandingkan lahan-lahan pertanian yang telah dialihfungsikan sebagai rumah, perumahan, pabrik, proyek tambang, hingga proyek strategis Pemerintah yang sering dijuluki PSN.
Alam Semakin Sempit
Mengapa lahan pertanian yang "disulap" menjadi nonpertanian dianggap membahayakan kelangsungan tani di Indonesia? Bisa kita bayangkan, Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris, bahkan dianugerahi tanah yang subur untuk ditanami apa saja, tiba-tiba tak dapat memproduksi tanaman apa pun hanya karena tidak ada ruang untuk bercocok tanam.
Ruang tanam yang hilang pun sebetulnya beragam, tak hanya beralih fungsi sebagai perumahan atau pabrik saja. Mungkin dari berita atau fenomena yang pernah kita baca, banyak lahan persawahan yang kini berganti menjadi lahan kelapa sawit, proyek batu bara, pembangunan jalan tol, hingga lahan yang benar-benar "dimatikan" oleh pemiliknya karena tidak ada lagi yang mampu mengolah produk pertanian sebagaimana pendahulunya.
Tentu --- sebagaimana sanggahan salah satu warganet di atas --- pemilik tanah berhak melakukan apa saja atas tanahnya, termasuk tetap menjadikannya sawah, atapun mengalihfungsikannya ke dalam bentuk lain. Pun, ruang tanam yang "hilang" tak semasif yang kita bayangkan. Tetapi bagaimana nasibnya saat 100 tahun ke depan misalnya? Ketika lahan persawahan benar-benar tersisa sedikit, sementara jumlah masyarakat terus bertambah tiap tahunnya. Bukan tidak mungkin krisis pangan benar-benar dapat mengancam kita.