Menikmati pisang goreng yang disajikan oleh pemilik rumah, tidak lupa secangkir kopi hangat yang begitu menggoda malam itu. Obrolan-obrolan ringan menambah suasana semakin hangat di tengah dinginnya udara malam. Malam itu adalah malam di mana para warga berkumpul, memang selalu diadakan rutin tiap bulannya selain berfungsi mengakrabkan warga juga untuk membahas masalah-masalah yang agaknya akan selalu ada seiring dengan kehidupan manusia. Tak lama kemudian orang-orang sudah mulai datang saling bersalaman dan duduk bersila sambil sedikit bersenda gurau satu dengan yang lainnya.
“Baik Bapak-bapak, seberapapun yang ada kita mulai pertemuan kita”, suara Pak RT menyela di tengah-tengah pembicaraan masing-masing. Semua yang hadirpun mulai menaruh perhatiannya kepada Pak RT. Masalah yang dibahas rupanya cukup sensitif: anggaran yang defisit.
“Bapak-bapak selama setahun ini kita berjalan ternyata kita mengalami defisit keuangan. Penyebabnya adalah ada beberapa warga yang menunggak pembayaran cukup lama, sementara kita setiap bulan selalu dibebani oleh beban operasional rutin, seperti menggaji keamanan, biaya listrik penerangan jalan dan pemeliharaan fasilitas umum seperti taman” Kata Pak RT membuka pembicaraan pertemuan sembari membagikan laporan keuangan kepada masing-masing warga.
Suasanapun hening dan masing-masing memegang kertas laporan keuangan mungkin mereka berpikir, bagaimana ini bisa terjadi; entah apa yang ada di pikiran mereka, mungkin ada yang curiga, mungkin ada yang berpikir solusinya, dan mungkin juga ada yang acuh yang penting sudah bayar.
“Bagaimana Bapak-bapak apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi masalah ini?, apakah kita harus menaikkan iuran tiap rumah?” Usulan Pak RT ditanggapi dengan pro dan kontra di kalangan warga yang hadir. Ada yang setuju, ada yang tidak setuju maklum saja kondisi perekonomian tiap-tiap rumah tangga juga berbeda-beda. Pendapat-pendapatpun mulai bermunculan ada yang mengatakan tidak fair jika dinaikkan bukankah masalahnya terletak pada beberapa rumah yang belum bayar iuran.
Penyebabnya bermacam-macam ada yang tarik ulur antara pemilik atau yang mengontrak rumah yang seharusnya membayar iuran, belum lagi ada rumah yang kosong hanya dibeli tapi tidak ditempati alasannya untuk investasi, ada juga beberapa warga yang mencoba mensimulasikan penghitungan anggaran dan mengusulkan bisa tidak naik asalkan ada pos-pos yang dikurangi atau bahkan ditiadakan dulu misalnya proyek-proyek, pendapat tersebut membuat warga yang pengusaha bangunan mengeluarkan pernyataan bahwa dia tidak pernah mengambil untung jika buat fasilitas umum warga, sembari yang lain menanyakan ada beberapa proyek yang harganya kok begitu mahal.
Akhirnya muncullah solusi dari seorang warga yang kebetulan juga aparatur hukum, begini saja kita buat surat tagihan untuk rumah-rumah yang belum bayar iuran untuk segera membayar iuran, dan hal tersebut disetujui oleh warga maka lagi-lagi sekretarislah yang kena batunya: menulis surat.
Saat menulis surat tagihan, sekretaris itu mendengar berita bahwa mahasiswa di sebagian daerah melakukan demonstrasi mengevaluasi (kalau bukan menuntut) Pak Presiden bahwa selama dua tahun memerintah belum memperoleh hasil apa-apa. Sekretaris kemudian berpikir jangankan pada lingkup yang lebih luas seperti Pak Presiden, yang pada lingkup Pak RT saja sudah banyak masalah-masalah padahal RT itu hanya mengayomi 30 rumah, bagaimana pusingnya Pak Presiden yang harus bekerja dan mengayomi jutaan rumah di wilayahnya.
Setelah selesai menulis surat itu diserahkan kepada Pak RT dan Bendahara RT untuk ditandatangani dan disampaikan ke tiap-tiap rumah. Sekretaris RT berpikir bagaimana ya jika nanti sudah disurati tetapi tetap didiamkan karena berbagai alasan.
Ah alasan itu kok ya banyak sekali padahal hanya 30 rumah, bagaimana ya kalau Pak Presiden dengan alasan dari jutaan rumah warganya? Sekretaris itu tidak dapat membayangkan sambil melihat Pak RT berlalu dari rumahnya sambil menenteng surat yang telah selesai ditulisnya. Kemudian sekretaris menyalurkan apa yang ada di benaknya dalam suatu artikel cerita.
Dari: Jogjakarta, 25 Oktober 2016