Mohon tunggu...
Eka Adhi Wibowo
Eka Adhi Wibowo Mohon Tunggu... Dosen - Seseorang yang tiada lelah menimba ilmu

Dosen Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mereview Kembali Gaya Hidup Hedonisme

28 Juni 2016   12:33 Diperbarui: 28 Juni 2016   21:13 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hedonisme. Linkedin

Ketika membaca tulisan yang berjudul "Pembiaran Yang Menghancurkan", saya menjadi ingat betapa bahayanya pola hedonisme yang membuat masyarakat justru kehilangan jati diri yang sebenar-benarnya dalam kehidupan. 

Pola berpikir hedonisme membuat manusia menjadi berpikir bahwa materi yang mereka miliki tidak akan pernah cukup untuk hidup mereka. Sementara dalam kehidupan manusia memiliki keterbatasan untuk dapat selalu terlihat bergelimang dengan harta. 

Hal tersebut juga diperparah dengan perubahan tatanan dalam masyarakat, tidak dapat dipungkiri masyarakat kita sekarang lebih menghormati seseorang yang memiliki harta banyak daripada seseorang yang hidup sederhana, tanpa mempedulikan proses bagaimana harta tersebut diperoleh. 

Akibatnya muncullah fenomena-fenomena seperti yang dituliskan di artikel tersebut, tanah dijual demi melangsungkan hajatan mewah, atau untuk membeli barang-barang yang seolah-olah dapat meningkatkan "harga diri" individu di mata masyarakat. 

Fenomena ini saya alami juga dari pengamatan langsung di sekitar tempat tinggal orang tua saya banyak ahli waris-ahli waris yang lebih memilih menjual tanah warisannya. Akibatnya juga dapat kita tebak munculnya pengangguran karena tidak memiliki aset dan keterampilan, yang jika dianalisa lebih lanjut akan berdampak domino terhadap kehidupan sosial, seperti potensi meningkatnya kejahatan karena terdesak oleh kebutuhan, dan salah satunya yang menjadi penyakit bangsa kita: Korupsi.

Hilangnya aset tersebut juga berdampak pada semakin mahalnya pangan, karena semakin terbatasnya lahan untuk produksi, akibatnya adalah semakin tingginya biaya hidup, ditambah dengan efek lain yaitu menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan yang besar. 

Kita dapat lihat saja berita-berita yang ramai disampaikan oleh media massa mengenai produsen pangan nakal yang memasukkan zat-zat yang berbahaya pada makanan yang akan dijualnya, akibatnya masyarakat harus membayar dengan harga yang mahal akibat penyakit-penyakit yang ditimbulkan karena masuknya zat-zat yang membahayakan kesehatan. 

Dapat kita lihat juga belakangan ini ada manusia yang begitu tega meracuni generasi penerus bangsa dengan membuat vaksin palsu hanya demi memperoleh keuntungan yang besar. Belum permasalahan lain seperti menyuap untuk mendapatkan ijazah hingga strata 3.

Hedonisme memang telah menjadi bahaya laten dalam kehidupan manusia, yang mendorong mereka untuk hanya sekedar hidup bersenang-senang tanpa mau berprihatin yang sebenarnya diperlukan oleh manusia jika ingin mendapatkan sesuatu yang lebih baik tanpa jalan pintas. Seperti kata pepatah "berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, senang-senang kemudian." 

Tetapi pepatah tersebut seakan-akan hilang tergilas oleh modernisasi yang seolah-olah memberikan kemudahan dalam hidup tanpa harus mengalami waktu kesusahan terlebih dahulu. 

Inginnya cepat kaya, foya-foya tanpa mempedulikan dampak-dampaknya, serta cara dan proses yang baik. Belum juga diperhitungkan bagaimana alam yang harus rusak, karena eksploitasi yang berlebihan untuk memenuhi gaya hidup hedonisme tersebut.

Pertanyaannya adalah siapakah yang dapat membendung pengaruh buruk dari hedonisme? Tentu jawabannya adalah kita semua, kita semua harus bergandeng tangan dalam membendung arus hedonisme ini, seperti para pemuka agama dan ulama.

Sepengetahuan saya tidak ada satupun agama yang mengajarkan bahwa hidup harus mengikuti arus hedonisme, bahkan sebaliknya agama-agama yang ada justru lebih menekankan hidup dalam kesederhanaan dan berguna bagi sesama, serta mengingatkan bahwa dunia ini hanyalah sesuatu yang fana, yang saat ini ada besok bisa tidak ada. 

Unsur lainnya adalah pendidikan, diawali dari keluarga yang menekankan hidup dalam kesederhanaan dan nilai harga diri seseorang tidak ditentukan oleh banyaknya materi tetapi dari kiprahnya untuk berguna bagi sesama dalam hidup ini. 

Selanjutnya adalah pendidikan baik formal, maupun non formal, adalah sangat baik ketika anak-anak diajarkan untuk hidup sederhana, serta belajar untuk peduli pada kesulitan-kesulitan yang dialami oleh orang lain. 

Pada tahap pendidikan tinggi sangat penting ditekankan bahwa aset tidak harus materi yang disandang, tetapi bisa saja dalam bentuk lain seperti ide-ide yang bagus untuk meningkatkan kualitas hidup sesama, pola pikir yang luas untuk berpikir lebih panjang jika ingin memiliki aset-aset tertentu.

Ambil contoh jika kita ingin memiliki kendaraan yang mewah artinya juga biaya untuk perawatan, sudah siapkah kita? Atau berpikir lebih panjang mengenai fungsi dari aset, apakah akan memberikan keuntungan atau hanya akan membebani. 

Tentu saja pembendungan arus hedonisme tidak bisa semudah membalikkan telapak tangan, tetapi tanpa adanya upaya untuk mengantisipasinya maka kehidupan kita hanya akan menjadi seperti mesin yang terus mencari materi tanpa memperhatikan lingkungan sosial dan lingkungan alam kita.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun