Ini adalah catatan perjalanan bulan lalu, entahlah mungkin malah dua bulan lalu, aku tak ingat persis. Belakangan ini aku sedikit malas menulis. Tulisan kali inipun karena merasa berhutang kepada beberapa teman. He…he… (Orangnya pasti tau kalau dia yang aku maksud). Walau tidak ada tagihan secara langsung, tapi kok rasanya ada yang belum tuntas. Maafkan aku ya kawan, sedikit telat dan ingkar janji. Motivasi menulis kali ini memang “tak murni”, maafkan aku kawan-kawan-untungnya tulisan ini “memaksa” untuk terbiasa menulis.
Pertemanan Tak Terduga
Sepulang kantor, seperti biasa sore itu aku ke Rumah Buku. Tempatku biasa berkumpul dengan kawan-kawan dekatku. Komunitas muda yang mengaku cinta buku yang telah kami bina sejak 3 tahun lalu. Tentang sejarah Rumah Buku ini akan kuceritakan kali lain.
Sesampainya di sana, Eci bersama dua orang yang tak akrab di mataku sedang duduk di teras. Memberi senyuman sekilas yang kubalas seramah mungkin. “Nah, ini dia orangnya.” Kata Eci. “Baru aja dibahas udah datang. Panjang umur,” katanya lagi terkekeh dengan tawa khas yang sudah aku hafal.
“Kenapa?” tanyaku datar setelah bersalaman dengan dua orang baru tersebut. Yang satu namanya Rizal, yang satu lagi, aku tak ingat. Mereka temannya Lina Naibaho, salah satu penghuni tetap rumah buku.
Dari situlah pertemanan kami dimulai. Tak ada direncanakan. Membicarakan pertemanan ini juga agaknya sedikit rumit. Banyak jalur pertemanan yang tak terduga. Terbentuk begitu aja. Mempertemukan kita dalam jalinan semesta. Rizal temannya Lina. Lina teman kami sejak di Suara USU. Rizal juga teman Andre, teman baru di Facebook yang kukenal dari Nanda, teman dari facebook juga yang akhirnya menjadi teman di dunia nyata. Jalinan pertemanan kami terbentuk unik.
Masih banyak daftar pertemanan lainnya yang sebenarnya tak usah dipusingkan. Jalinan-jalinan itu akan mencari sendiri jalannya. Mencari kutub-kutub yang cocok. Menemukan daya tarik dan kekuatan kimianya.
Pertemanan itu memang sedikit unik. Pada beberapa kasus, ada pertemanan yang berusaha aku jalin dan aku jaga dengan baik. Tapi gagal. Biasanya memang sejak awal, aku sudah merasakan tidak ada chemistry. Ikatan kimia yang membuat kita merasa cocok dan akur dengan seseorang. Di alam bawah sadar kita. Entah itu benar atau tidak, aku selalu merasa begitu. Walau sudah mati-matian berusaha membuat diri nyaman, tetapi tetap saja tidak bisa. Akhirnya aku menyerah. Itu memang tidak bisa dipaksakan. Orang-orang seperti itu akhirnya cukup masuk ke dalam daftar kenalan saja bukan teman.
Seperti halnya dua kenalan baruku ini. Yang satu terkesan biasa saja sedang yang lain mungkin cocok dijadikan teman. Masalah selera mungkin. Itulah awal pertemuanku dengan Rizal, Masrizal, Bang Mas kata Lina.
Singkat cerita, ia butuh narasumber tentang minat baca dan perpustakaan kolektif untuk kelompok binaan mereka di Aceh, Alu Billie dan Blang Kejeren. Awalnya Lina menawarkan Eci. Ini juga misteri. Eci tidak bisa karena ia sedang mempersiapkan perjalanannya ke Papua. Akhirnya aku dipinang untuk perjalanan kali ini. Lagi-lagi, banyak hal yang tak terduga. Aku memutuskan ikut. Berbekal rasa percaya dan niat jalan-jalan, tentang jalan-jalan, jangan tanyakan lagi, itu nama tengahku, aku bergabung dengan Rizal.
Rencana dan jadwal keberangkatan diatur. Aku berangkat sendiri. Rencana awal Lina ikut cuma ia terhalang dengan persiapan menyelesaikan ancaman DO nya. Ha..ha… Nay…Nay… aku pikir aku paling lama, eh ternyata ada yang lebih lama lagi.
Berangkat
Entah kenapa dalam setiap perjalanan, aku selalu harus berpuas diri menjadi satu-satunya perempuan. Seperti juga perjalanan kali ini.
Hari H. Aku menunggu jemputan di Rumah Buku. Janjinya pukul 6 sore. Sebagai mantan korban penyandang gelar miss jam karet yang enek disebut begitu, sejak pukul 5 aku sudah bersiap-siap di Rumah Buku. Tidak ada persiapan atau ritual penting, hanya menunggu. Lalu, menit demi menit berlalu. Kabar terbaru, jemputan datang pukul 19.00 WIB.
Masih dengan sikap anggun bak bangsawan *he..he.. lebai deh* aku menunggu jemputan. Terlambat 1 jam dari rencana semula. “Tak jadi berangkat,” tanya Richard. “Jadi,” jawabku malas. Sambil menunggu, kerudung hitam pinjaman dari Hanum sudah membalut kepalaku. Aku tampak seperti muslimah yang tak alim. Ha…ha…
Lalu, jam pun melewatkan 15 menit dari jam perjanjian kedua. Sial! Kesal ga sih dengan janji yang tak pasti begitu.
Masih dengan sikap sok bangsawan *ini pasti bohong* aku mencoba menghubungi Bang Mas. “Jam berapa sih jemputannya?”
Cresss… bunyi penanda pesan masuk yang seperti air tumpah terdengar dari ponselku. “Sebentar lagi katanya, coba hubungi, ini nomornya. Maaf ya…”
Uhhhhh… rasanya ingin jitak kepala bang Rizal aja waktu itu. Tapi ga jadi ah, kasian, lagian jauh, udah berangkat ke Aceh duluan.
Setengah jam kemudian jemputan datang. Kijang inova warna emas meluncur mulus. “Saya pastikan tidak salah.” Seorang bapak berkulit gelap melonggokkan kepala dari pintu belakang yang terbuka kacanya. Anggukan kepala ramah kubagikan kepada mereka. Sebuah bangku kosong sudah disediakan buatku di samping pak supir. Baik sekali pikirku. Setelah naik mobil, aku tahu alasannya, aku satu-satunya penumpang perempuan. Lagi-lagi.
Ridwan
Setengah dari perjalanan diisi dengan kebisuan. Tak ada percakapan. Sampai akhirnya percakapan ringan dikeluarkan dari bapak yang duduk tepat di belakangku. Mungkin mulutnya mulai basi seperti juga bau mulutku. Percakapan seputar persiapan peringatan tsunami di Meulaboh memulai percakapan mereka. Ah… ternyata mereka juga bukan penduduk asli Aceh. Si bapak yang aku lupa namanya sangat gemar bercerita. Ia berasal dari Palembang. Aku tak terlalu berselera bercerita. Lalu, aku pura-pura tidur. Malas berkomentar. Sampai kemudiaan menjelang subuh hari, si bapak asal Palembang, menepuk pundakku dari belakang dan berbisik pelan. “Yang duduk di depan, jangan tidur. Si sopir hampir saja nabrak. Ajak ngobrol biat ga ngantuk,” katanya mendesak.
Seketika aku segar. Tak mau konyol di tengah jalan begini. Obrolan-obrolan ringan pun meluncur dari mulutku. Malas aku buang jauh-jauh. Mulai dari obrolan seputar asal-usul. Pengalaman kerja sampai persoalan-persoalan pribadi. Pak supir yang sedari awal sangat simpatik ternyata bernama Ridwan. Ia telah puluhan tahun menjadi supir travel. Asli Meulaboh. Sesekali kilatan sedih terpancar waktu ia bercerita tentang tsunami. Tapi kemudian berubah ceria saat ia bercerita tentang perjalanan kelilingnya sebagai supir travel.
Tapi cerita yang paling disukainya adalah tentang seorang perempuan muda batak bermarga pasaribu yang suka curhat kepadanya. Cerita itu berulang-ulang diungkit-ungkitnya meskipun berkali-kali aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Jadi ceritanya, rumah tangga perempuan muda ini sedang di ujung tanduk dan si bapak tampil sebagai sansak tempat curhat. Entah kenapa, ia terkesan bangga dengan itu.
Walau tak ada kaitannya, pada dasarnya, bapak ini baik dan simpatik. Pukul 7.30 aku sudah sampai di Alu billie. Bang Rizal menjemput dengan sepeda motor. Lalu perjalanan berikutnya sudah akan dimulai.
Liburan?
Yang aku suka dari perjalanan kali ini, meskipun tujuannya sebagai fasilitator diskusi minat baca dan membangun taman bacaan, aku merasa seperti sedang berlibur. He..he… terima kasih… Terima kasih buat semuanya.
Tak usahlah aku bercerita banyak tentang kegiatan pemberian materi. Tak banyak, lebih kepada diskusi dan sharing pengalaman.
Banyak pengalamaan berkesan dari orang-orang yang bersama-sama dengan saya dalam perjalanan kali ini. Saya bertemu dengan transmigran asal Jawa yang sangat mencintaidan merasa diri sebagai orang Aceh. Saya bertemu dengan orang-orang yang punya mimpi. Saya jadi ingin banyak bermpimpi lagi.
Benarkah perjalanan membuat kita makin bijaksana. Aku rasa begitu. Dari tiga kawan yang kami banyak bersama, aku belajar tetang memberi. Kebiasaan yang sering kali aku tahan-tahan. Tapi selalu saja ada pelajaran dari orang-orang.
Selain memberi materi selebihnya kami menikmati pantai-pantai dan pemandangan di sepanjang perjalanan.
Kami menunggu senja di Bakongan. Garis pantai yang panjang. Aroma laut, amis ikan, sinar matahari sore. Kami tunggu dengan damai. Berempat. Bang Yudi yang pendiam tapi baik selalu memilih menikmati sore itu dengan kesndiriannya. Semua punya pilihan. Aziz memilih berenang dan sedikit menggombal pada dua anak perawan *kayaknya sih* yang sedang bermain di pantai.
Bang Rizal, dengan kameranya memilih menyisir pantai dan membidik, mengabadikan apa yang ia suka. Lalu aku, memilih menikmati semuanya. Mengukur setiap denyut alam bakongan dalam tiap aroma laut yang aku hirup. Mengikuti garis pantai dan mengukir bebeberapa nama di sana. Betapa beruntungnya kalian. Pemilik nama yang terlintas di pikiranku.
Lalu, sambil menunggu matahari bukat kemerahan di ujung sana. Aku duduk mendengarkan nyanyian gelombang.
Hanya 2 menit, momen itu berlangsung cepat. Matahari menjadi bulat utuh, lalu menghilang di telan garis laut yang tertangkap mata. Lalu gelap menelan kami hidup-hidup. Kami pulang setelah mengabadaikan perselingkuhan pura-pura dalam lembaran-lembaran kilatan cahaya kamera Bang Rizal.
Malam itu dan malam berikutnya saat akan kembali ke Medan, langit sangat ramah. Ribuan bintang di langit gelap terlihat jelas. Tak beraturan dan tak terhitung. Aku hampir gila memikirkannya. Aku jatuh cinta pada langit. Aku semakin yakin akan hal itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H