Mohon tunggu...
Eka Dalanta
Eka Dalanta Mohon Tunggu... Freelancer - Book Eater

Menyukai seni, keindahan, dan kata-kata. Suka berjalan tergesa dan pemurah dalam memberi senyum.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dari Aceh Hingga Rusdi

18 Oktober 2010   09:59 Diperbarui: 4 Mei 2023   10:12 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pikiran kecilku dulu sewaktu anak-anak tidak pernah membayangkan minat melakukan perjalanan ke Tanah Aceh. Aceh adalah kengerian yang bila kau menginjakkan kaki ke sana maka tidak ada kemungkinan selamat. Paling tidak kau akan mengalami luka. 

Di situlah saya sekarang. Di Aceh Tamiang. Bagian kecil Aceh yang luas. Ini bukan pertama kalinya saya menjejakkan kaki di Aceh. Kelima kalinya mungkin. Saya telah ke Meulaboh, Tapak Tuan, Banda Aceh, dan Sabang. Siapa sangka. Entah ke mana rasa takut dan tak suka yang dulu pernah hadir. Apakah karena tuntutan pekerjaan, kesenangan bertraveling, atau alam pikiran yang lebih terbuka. Sejumlah teman saya berasal dari Aceh. Itu pasti berkontribusi kecil!

Kontribusi terbesar datang dari situasi yang telah berubah. Aceh tidak seseram dulu lagi meskipun kadang enggan ke sana. Jujur saja, sebagai penduduk non muslim saya terkadang kurang nyaman. Benar memang tidak ada kewajiban bagi saya yang non muslim untuk melakukannya. Saya tidak diharuskan memakai jilbab. Saya hanya disarankan berpakaian sopan. Tentang berpakaian sopan itu, saya tak masalah. Karena saya juga sangat tidak terbiasa berpakaian tidak sopan. Memakai baju tanpa lengan juga saya tidak suka. 


Karena itu bila ke Aceh, walau tidak memakainya, saya wajib membawa jilbab. Sekadar berjaga-jaga. 

Tapi dibandingkan tahun 1990-an, saat ini Aceh tidak memberi kesan mengerikan lagi. Dulu, Aceh itu kengerian. Saya ingat benar waktu kecil, tetangga dekat rumah saya, mendadak menjadi janda dalam satu malam karena suaminya ke Aceh. Ia ke sana bukan untuk berperang. Hanya untuk berdagang dan mengurus usaha. Tapi ia mati. Ditembak GAM sewaktu dalam perjalanan. 

Konflik itu terjadi konon karena ketidakadilan pemerintah pusat. Ketidakmerataan pembangunan. Aceh itu tanah yang kaya. Tanah yang subur. Penghasilan buminya juga sangat banyak. Mulai dari gas buminya yang terkenal itu, buah-buahan seperti cempedak, cabai aceh yang terkenal, dan masih banyak lagi. Tentu masih banyak lagi. 

Sayangnya Aceh terasa ketinggalan dan tak maju. Itu kata mereka. Entah salah siapa juga. Apakah memang telah dikondisikan sejak jaman dulu kala? Pemerintahan orde barukah? Ibu saya bilang (Ibu saya dulu sering berdagang ke Aceh) katanya orang Aceh malas-malas, tapi menurut Ibu, itu tidak sepenuhnya benar. Selain malas, mereka punya sifat iri yang sangat tinggi. Mereka tidak suka dengan kaum pendatang yang lebih maju. Mereka akan menyerang dan membuat mereka tidak nyaman. Saya tidak bermaksud rasis. Itu cerita yang saya dengar. Tapi saya tidak percaya. Sikap ingin maju dan malas itu bukan milik satu suku saja. Tidak Aceh, tidak Jawa, tidak Karo, tidak pula yang lainnya. Sangat personal.  

Kaum pendatang sukses di daerah rantau itu wajar saja. Setiap perantau dituntut bekerja lebih banyak dan lebih keras. Ia tidak punya banyak di daerah yang ia datangi. Seorang perantau adalah pejuang. 

Imam Syafi’i pernah bilang: 

Orang berlimu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. 

Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. 

Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan.

 Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. 


Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan

Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa

Anak panah jika tak tinggalkan busur tak akan kena sasaran


Jika matahari di orbitnya bergerak dan terus diam

Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang

Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa

Jika di dalam hutan.


Ngomong-ngomong tentang kisah sukses pendatang di Aceh, saya teringat Pak Rusdi. Bapak yang saya jumpai di Desa Suka Makmur, Aceh Tamiang. Dia seorang pendatang. Asli Jawa. Entah Jawa bagian mana saya tidak tahu persis. Ia telah tinggal di sana lebih lama dibanding daerah asalnya. Hampir seluruh hidup ia habiskan di Bumi Teuku Umar.

Pak Rusdi datang dari Jawa melalui kapal laut dengan biaya pada waktu itu sekitar Rp 85,-. Ia mendarat di Belawan pada tahun 1952. Saat itu beliau berumur 21 tahun. Masih sangat belia. Umur Pak Rusdi sekarang 79 tahun.


Pak Rusdi sempat sekolah di SR dan ingin meneruskan ke SGB. Tapi gagal karena ketiadaan biaya orang tuanya. Akhirnya di merantau ke Aceh. Ia salah satu orang yang pertama mendapat ijin dari pemerintah membuka hutan untuk dijadikan kebun karet yang sekarang ada di desa Suka Makmur.


Saya visualisasikan sendiri riwayat perjalanannya menuju pulau Sumatera. Pasti tidak mudah. Pulau Andalas ini, di tahun 50-an kondisinya tentu sangat berbeda dengan saat ini. Secara fisik, demografis, juga transportasinya. Transportasi laut juga belum semaju sekarang. Entah berapa hari waktu yang perlu ia habiskan terombang-ambing di tengah laut. Butuh keberanian besar memutuskan meninggalkan tanah kelahiran menuju sebuah tanah asing yang sama sekali tak dikenal. Saya tidak yakin juga ia membawa bekal uang yang banyak kala itu. Tak akan berani. Kalau pun ia kemungkinan dirampok atau dipalak pasti ada.  

 

Abraham, yang dikenal juga sebagai Nabi Ibrahim sudah memberikan contoh ribuan tahun silam. Ia mengajarkan tentang keberanian. Tidak usah  dan tidak ada keraguan mengambil keputusan untuk hal-hal yang belum pasti. Gambling! Mungkin. 


Rusdi juga demikian. Tanah yang ia tuju itu belum jelas keadaannya. Wilayah yang kini ia jadikan perkebunan karet dulunya adalah hutan belantara. 


Sekarang ia dikenal masyarakat sekitarnya sebagai tokoh masyarakat. Salah satu pendiri awal dusun dan tempat mereka belajar berkebun karet. Bukan karena pendidikan formalnya yang sangat tinggi. Tapi karena keberanian dan pengalamannya. Setelah Rusdi berhasil membuka lahan baru, ia kemudian mengajak beberapa saudaranya untuk datang dan menggarap lahan kosong tersebut. Kini masing-masing mereka memiliki kebun paling tidak 2 hektar.  

 

Rusdi, karena kegagalannya melanjutkan sekolah, ia bertekad agar anaknya menjadi sarjana. Dari istri pertama Rusdi dikarunia 9 orang anak. Dari penuturan beliau, ia telah berhasil mencapai mimpinya itu. Semua anaknya menjadi sarjana. Bahkan 2 di antaranya di Jakarta menjadi dokter spesialis, yang lain ada di Riau menjadi asisten perkebunan. Yang lain tidak diceritakan secara detail karena hari sudah mendung berat. Perbincangan pun berakhir. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun