Mohon tunggu...
Eka Dalanta
Eka Dalanta Mohon Tunggu... Freelancer - Book Eater

Menyukai seni, keindahan, dan kata-kata. Suka berjalan tergesa dan pemurah dalam memberi senyum.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lukisan Singkong

18 Oktober 2010   09:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:20 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sore itu, sore terakhir bulan Desember. Langit kuning kemerahan. Cahayanya hampir di telan gelap. Sebentar lagi, dalam hitungan jam saja tahun 2009 sudah akan berakhir.

Endra duduk sendiri di ruang pameran lukisan lantai dua. Menatap keluar jendela. Asik sekali. Sore itu ia sendiri. Adik dan pengurus rumah sedang pulang kampung. Terasa sepi. Tapi ia tak peduli. Bukankah ia selalu begitu?

Jalanan juga sudah mulai sepi. Kampung Keling yang biasa ramai kini senyap sekali. Seperti suasana hatinya. (Kelihatannya sih begitu).

Jendela kaca ia buka. Kaki kurusnya ia tekuk saat duduk menghadap tiang listrik di depan galerinya itu. Garis-garis panjang teratur ditopang kokoh tiang-tiang listrik. Mengalirkan berjuta-juta energi, menimbulkan cahaya-cahaya di ribuan rumah. Garis-garis itu ditimpa cahaya kemerahan matahari sore. Indah sekali.

Ditopangkannya dagu ke lutut menikmati sedapnya sore itu. Sore itu, dalam kesendiriannya, Kampung Keling terasa berbeda. Medan menjelma kota yang indah. Seekor merpati yang terbang hinggap menyempurnakan keindahan lanskap istimewa itu.

Seperti biasa, Endra tak mau kehilangan momen istimewa. Saat ilham datang, mengabadikan keindahan itu dalam goresan sketsa di kertas putih. Tangan seninya pun bergerak liar, mencari bagian-bagian eksotis di tubuh sore.

Sebuah sketsa hitam putih bergambar merpati menjadi buah cintanya senja itu. Ia pun pergi mandi. Membersihkan diri setelah percintaan yang sepi. Meninggalkan lanskap yang telah dilahapnya habis.

***

Sebentar lagi malam tahun baru. Tidak terasa memang. Orang-orang sedang sibuk mempersiapkan pesta penyambutan awal tahun. Tapi Endra tidak, ia sibuk dengan dunianya. Dunia kesendirian, dunia impian. Malam ini ia ingin melukis banyak. Kontemplasi hidup satu tahun.

Sebagai perupa, ia cukup prihatin dengan dunia seni kota Medan. Dulu ia pernah ingin marah. Siapa tahu juga, dulu mungkin ia berniat meninggalkan ketidakpastian sebagai perupa. Memang ia tidak pernah bilang begitu. Sumpah deh!

Tapi kini tidak, ia tak marah lagi. Untuk apa marah, hanya buang-buang tenaga, begitu katanya. Ia tidak ingin marah dan menjadi hipertensi. Sekarang ia hanya ingin terus berkarya dan mewarnai seni rupa kota Medan. Mungkin saja ia telah bangga menjadi pelukis. Kapan-kapan kita tanyakan saja. Kalian setuju kan? Hah… tidak usah melawan, ini ceritaku, jadi kalian ikut saja!!

***

Tapi Endra bukan Tuhan. Ia tidak bisa menentukan apa yang harus dan akan terjadi. Malam itu… ia tak jadi melukis. Tuhantelah melukis ceritanya. Bukan cerita yang diinginkan Endra. Tapi cerita itu indah.

Malam itu, Endra, karena ingin melukis ia pergi ke warung depan membeli beberapa botol air dan beberapa bungkus makanan ringan.

Saat kembali, ia disambut panas menyengat dan asap pekat dari lantai dua. Sial!

Lantai dua ruang studio dan pamerannya dimakan api.

“Habis, habislah sudah,” teriaknya sambil berusaha lari ke lantai dua. Ia tak tahu apa yang telah terjadi. Yang ia tahu, bahaya besar tengah berusaha menusuknya. Ia harus menghindar.

Di lantai dua, asap telah menjadi raja. Api melalap dengan rakus ke sana ke mari. Puluhan lukisan hasil kerja berbulan-bulan dengan seenaknya dimakan api. Kanvas-kanvas berisi tinta dan cat itu dengan cepat menjadi abu.

“Matilah!” teriaknya kalut (Sebenarnya aku tak tahu pasti apa katanya waktu itu, tapi mungkin kata-kata ini terucap juga. Kalau kau tak yakin tanyakan saja padanya kapan-kapan).

Sialnya lagi, tak cuma lukisannya yang habis dilalap api. Beberapa lukisan lain milik temannya juga tak mau ketinggalan. Mereka menawarkan diri kepada lidah-lidah merah mengerikan. Lukisan-lukisan itu bosan hidup!

Ah… mungkin mereka tak suka menjadi perhiasan! Tapi mereka kan bukan perhiasan? Mereka adalah kontemplasi para perupa! Mereka diciptakan dari sebuah perenungan dan kecintaan pada imajinasi. Apa mungkin mereka telah salah mendefenisi? Atau mungkin tak juga begitu. Mungkin mereka tak bisa melawan saat ide-ide yang mereka kandung dianggap membahayakan. Mereka pun dibinasakan.

Ketika mereka dianggap mampu memprovokasi setiap orang, mereka dilibas habis. Ketika itu terjadi, dewa api pun diajak bekerja sama memusnahkan siapa saja yang dianggap tak sepaham. Mereka yang membuat risih dan suka ngurusin urusan orang lain disikut. Dijatuhkan dan disingkirkan. Ah… masa sih di zaman sekarang masih begitu?

Tapi toh lukisan-lukisan itu terbakar. Siapa tahu?

Bagi Endra, konspirasi siapa itu tidak penting, yang ia tahu lukisannya terbakar. Lukisan-lukisan bergambar singkong miliknya. Lukisan berbagai tema dengan singkong sebagai primadonanya. Sebuah penanda khas miliknya. Atau karena itu? Ah… mungkin karena itu. Karena singkong terlalu merakyat. Yang terlalu merakyat selalu dianggap berbahaya. Ah… siapa tahu!

“Mungkin aku terlalu sombong,” desah Endra duduk terpekur.

***

Api tetap menyala, menatap Endra garang. Ia membalas tak kalah garangnya. “Siapa dia, sok sekali!” lantang Endra. Ia berdiri, menatap balik api-api itu. Satu hembusan ia keluarkan dari semua kemarahan yang membuncah. Api-api itu menciut, tak tahan dengan kemarahan murni dari sebuah kejujuran. Kemarahan yang tak bisa dilawan. Nurani yang tak bisa dibungkam.

Api-api itu menciut, malu dengan apa yang telah mereka lakukan. Seenaknya mencuri ide dan menekan kebebasan orang-orang lain.

Dengan ramah, mereka ingin pamit. Minta maaf denganapa yang telah mereka lakukan.

Lalu dengan satu ciuman kecil di mulut lukisan, mereka berpadu, menyatu, lalu mengecil menjadi merpati api. Terbang keluar jendela menuju angkasa. Tak sempat mengucapkan selamat tinggal pada Endra.

Endra terpana. Merpati kecil itu, merpati yang ia kenal, merpati yang sama yang ia lihat sore tadi. Ia kenal betul dengan kepaknya. Kepak rapuh dibalut cahaya senja kemerahan.

Merpati itu meninggalkan sisa asap hitam di dalam ruangan dan lukisan baru pada kanvas yang telah menghitam. Singkong bakar. Endra mendadak lapar. Dan ia ingin melukis lagi.

***

Di rumahnya, Yosrizal, perupa, teman Endra, yang lukisannya juga ikut terbakar, tak tahu-menahu tentang itu. Di studio kecilnya di Binjai, ia tengah melukis. Kontemplasi. Melukis apa yang lahir dibenaknya. Inspirasi dari Tuhan. Ia melukis merpati api.

Medan, Akhir Januari 2009.

* Terima kasih buat Endra dan Yosrizal, dua perupa Medan, buat obrolan siang di Galeri Lindi. Maaf namanya saya pakai dan ceritanya saya permak-permak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun