Mohon tunggu...
Eka Cahyowati
Eka Cahyowati Mohon Tunggu... -

cewek,,yang ingin mencoba berbagai hal baru dalam hidup yang hanya satu kali..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

.:: Januari dalam Kelam ::.

11 Desember 2010   22:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:49 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi, mengapa aku harus kembali ke kantor polisi. Apakah polisi mencurigai ku? Tidak, ini tidak mungkin.!!

Kecurigaan polisi emang mengarah kepada teman-teman sekolah korban. Tidak ada lain, karena Janu ditemukan tewas di sekolah kami. Dari cara pelaku melakukan pembunuhan, terlihat tidak profesional. Teknik yang digunakan untuk mengelabui orang lain masih awam, sehingga kecurigaan polisi mengarah ke teman-teman korban karena Janu dikenal dimusuhi oleh teman-temannya.

***

Aku tak pernah menyangka kejadiannya akan seperti ini. Seminggu setelah aku dipanggil lagi ke kantor polisi, aku kembali harus ke kantor polisi. Tapi bukan sebagai saksi. Melainkan sebagai: TERSANGKA.!! Tentu saja aku shock, begitupun dengan keluargaku.

"Gak mungkin pak. Anak saya gak mungkin melakukan hal itu".

Terdengar suara mama yang memilukan tak percaya dengan kejadian ini. Namun semuanya telah terjadi. Aku tak menyangka di penghujung SMA ini, aku harus mendekam di balik jeruji besi. Aku benar-benar hancur, tak kuasa menerima cobaan ini. Belum lagi jika membayangkan persidangan yang harus aku jalani sebelum resmi menjadi tahanan di Lembaga Pemasyarakatan.

Hari-hari ku lalui dengan menyedihkan. Keluarga, teman-teman, dan kerabat dekat satu persatu mengunjungi ku. Banyak orang tak menyangka aku melakukan ini. Aku pun tak bisa berkata-kata lagi. Aku pasrah menunggu vonis apa yang akan aku dapatkan. Benar-benar memalukan, bukan hanya mencoreng nama keluarga namun menjadi bahan gunjingan di seantero kota, apalagi menjadi headline di koran: "SEORANG SISIWI SMA TEGA MENGHABISI NYAWA TEMAN SEKELASNYA".

Waktu terasa berjalan begitu cepat. Beberapa persidangan telah aku lalui. Rasanya tak ada harapan lagi. Jangankan untuk mengikuti Ujian Nasional, untuk keluar menghadapi dunia pun aku tak sanggup. Aku pasrah menerima semua ini. Walaupun keluargaku tetap tak yakin aku bersalah, dan terus berjuang agar aku bebas dari hukuman yang berat. Dan hari ini adalah hari yang dinanti. Hari ini adalah sidang terakhir, dimana agendanya adalah pembacaan putusan vonis dari hakim.

Rasa panik, deg-degan, takut, was-was berkecamuk dalam hati semua orang yang berada di dalam ruang sidang. Dari beberapa meter di sudut sana, aku melihat mama yang tak henti mengeluarkan air mata. Matanya sembab karena tak henti menangis. Tubuhnya pun terlihat turun drastis. Sementara papa, ia juga terlihat shock atas kejadian yang menimpa putri sematawayangnya ini. Aku pun tak tahu harus berbuat apa. Seolah dunia menghujam ku. Apalagi jika ku lihat wajah keluarga Janu. Oh...sungguh aku tak berani mengangkat wajahku kea rah mereka. Dan hakim mulai membacakan satu persatu yang harus ia baca hari itu. Mulai dari BAP, dan segala kronologis termasuk pembacaan keterangan dari para saksi.

Semua kecurigaan mengarah kepada ku. Di mulai dari tulisan tangan yang ditemukan di saku baju Janu. Polisi mencocokkan tulisan tersebut dan hasilnya itu memang 87 % memiliki kemiripan dengan tulisan tanganku. Selain itu beberapa bukti seperti sidik jari pada gagang sapu yang diduga dipakai untuk memukul kepala Janu juga terbukti adalah sidik jariku. Semua...semua hal mengarah kepada ku. Dan aku pun telah mengakuinya. Yaa..mengakui perbuatanku. Aku memang kesal tehadap Janu hari itu. Sudah berkali-kali aku dibuat kesal oleh ulahnya. Sebagai ketua kelas aku merasa tidak dihargai. Aku benci,... sangat benci. Hingga aku khilaf dan nekat menghabisi nyawa Janu tanpa berpikir akibat yang aku dapatkan nantinya. Aku menyesal, namun terlambat. Nasi sudah menjadi bubur, bubur basi yang tak bisa dimakan kembali. Janu telah pergi dan meninggalkan cerita miris dari seorang anak yang menjadi korban kejamnya dunia.

Detik-detik pembacaan vonis pun dimulai. Dengan hati yang tak menentu, aku mencoba menyimak apa yang disampaian hakim ketua. Dunia rasanya menyempit, namun aku masih ingin mendengar setiap kata yang meluncur dari bibir majelis hakim. Aku masih berharap ada keadilan untukku, walau ku tahu aku sudah tak adil terhadap Janu. Maafkan aku Janu, aku khilaf, aku menyesal melakukannya. Entah setan apa yang merasukiku hari itu. Bahkan kau meronta pun aku sama sekali tak memperdulikannya, tetapi saat itu kurasa setimpal ketika kau tak pernah mau memperduliakn perkataanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun