Mohon tunggu...
Ilana Rue
Ilana Rue Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Saya menyukai fiksi sedari kecil, namun butuh waktu lama untuk akhirnya bisa menulis. Saya mulai menulis pada tahun 2021 di akun wattpad. Awalnya saya menulis hanya sebagai media untuk healing dari rasa stres dan depresi yang saya rasakan. Di awal Juli 2023, nama saya tercantum pada penulis terpilih yang karyanya dibukukan di sebuah antologi cerpen. Sejak saat itu, saya aktif berkarya dan mengikuti lomba-lomba cerpen.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kardus dan Harapan

26 Agustus 2024   21:52 Diperbarui: 26 Agustus 2024   21:54 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Makasih ya, Mbak. Maklum sudah tua, tenaganya sudah tidak sekuat dulu." Ucap lelaki tua itu sambil terkekeh. Guratan keriput itu terlihat semakin jelas saat dia tertawa. 

"Bapak mau pulang?" Tanyaku. Masih memunguti kardus-kardus bekas milik bapak tua itu. 

"Mau ke Jalan Niaga, nak. Mau jual semua kardus bekas ini. Baru kekumpul segini setelah seharian mencari." Ujarnya sambil tersenyum padaku. 

"Oh.... Memang sekilonya berapa, Pak?" Tanyaku sambil terus memungut barang yang tercecer. 

"Macam-macam, Mbak. Ada yang 2000 sekilonya. Ada yang sampai 5000 satu kilonya. Tapi karena hari ini cuma sedikit yang terkumpul, jadi saya ga berharap dapat banyak. Yang penting cukup untuk makan aja sudah bersyukur mbak." Ujar Bapak Tua itu lagi. 

"Bapak ada keluarga di rumah?" Tanyaku penasaran. 

"Anak saya sudah kerja semua, Mbak. Tapi saya sendiri tidak tahu mereka ada dimana. Istri saya sudah lama meninggal. Jadi saya tinggal sendiri. Saya bersyukur, Tuhan masih kasih saya hidup dan kekuatan untuk mencari rejeki." Jawab Bapak Tua itu lembut yang membuatku termenung. Perasaan malu mulai merayapiku. 

Setelah selesai memungut semua barang bekas ke dalam gerobak. Sang bapak mengucapkan terima kasih dan berpamitan padaku. Dia berpesan agar aku cepat pulang karena udara malam hari ini terasa sangat dingin. 

Tak terasa air mataku meleleh. Entah sejak kapan ia terjatuh. Aku usap kasar air mataku dan mulai mengejar bapak tua itu. Aku membantu beliau mendorong gerobak untuk dapat menanjaki jembatan layang ini. Setelahnya aku berikan jaketku kepada bapak itu agar ia tak kedinginan. Sang bapak sangat berterima kasih atas bantuanku. Kemudian berlalu. 

Aku terdiam. Menyaksikan sosok bapak tua itu yang menjauh. Aku keluarkan ponselku, melihat jam yang menunjukan pukul 10.30 malam. Sesaat aku melihat pantulan bayanganku pada layar ponsel. 

Aku merasa sangat payah. Hanya karena hidup tak berpihak padaku, aku ingin menyerah. Bodoh. Sementara bapak tua itu menerjang dinginnya malam setiap hari dan aku masih mengeluh tentang harapanku yang gagal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun