Orang-orang selalu berkata, "kejar mimpimu setinggi mungkin". Aku berusaha untuk itu semua. Akan tetapi, aku kini berada pada kesimpulan untuk menghadapi realita bahwa aku, harus kalah oleh keadaan dan kebodohan yang telah aku ciptakan sendiri. Namaku Agus, seorang mahasiswa Teknik Elektro di salah satu Universitas Negeri di Indonesia. Aku hanya mahasiswa biasa yang terlahir dari keluarga petani. Namun berkat nilai-nilaiku yang mendekati sempurna, kini aku dapat bersekolah di kampus bergengsi ini.
Kendati keluargaku di desa selalu berusaha menyokong kebutuhan bulanan serta biaya UKT tiap semester. Aku tidak mau berdiam diri. Aku tak bisa hanya mengandalkan uang bulanan dari mereka. Harga kamar kos dan biaya hidup di kota ini tidak semurah biaya hidup di desa. Belum lagi biaya-biaya lain di luar UKT seperti praktek dan pembuatan makalah. Aku pun merasa prihatin jika terus meminta uang lebih kepada mereka. Itulah mengapa, aku memutuskan untuk bekerja paruh waktu di sebuah warnet dekat kampus.
Tahun pertama dan kedua bersekolah, aku masih mampu mempertahankan nilaiku. Sebagai peraih IPK tertinggi di jurusan, aku tentu mendapat penghargaan berupa beasiswa mahasiswa berprestasi. Namun menginjak tahun ketiga, aku mulai mengalami kesulitan dalam membagi waktu. Sehingga mengakibatkan IPK-ku turun. Ya, aku terjun bebas. Membiarkan orang lain meraih posisiku sebagai si nomor satu di jurusan Teknik Elektro. Dengan berat hati, aku melepaskan kesempatanku mendapat beasiswa.
Seolah tak cukup sampai disitu, aku mendapat kabar bahwa biaya UKT dinaikan. Kenaikannya pun cukup signifikan yang mampu membuatku terdiam dalam keramaian. Aku berjalan dengan langkah yang berat. Melewati beberapa mahasiswa. Mengabaikan panggilan dari kawan-kawanku satu organisasi.
"Ya Allah, mau dapat uang darimana lagi? Bapak di kampung sudah mengabarkan kalau semester ini beliau tidak bisa mengirim uang tepat waktu karena gagal panen." ucapku bermonolog di bangku dekat taman kampus. Aku lupa sudah berapa lama berada disini. Sedari tadi yang kupikirkan hanya darimana aku bisa mendapat uang tambahan untuk membayar biaya UKT semester ini.
Seseordang menepuk pundakku. Itu adalah Ridwan, teman sekelasku. Ia begitu penasaran dengan keadaanku. Aku mulai menceritakan semua keluh kesahku hingga ia menyarankan padaku untuk meminjam di pinjaman online.
Aku menggeleng sebagai jawaban. Aku berpikir, aku harus mencari jalan lain sebelum memilih untuk meminjam di pinjol. Hingga seorang teman datang dengan saran yang lebih gila. Ya, Amir, teman satu kosanku yang mulai menyarankanku untuk bermain PG. Salah satu permainan judi online. Aku hanya harus membuat akun, serta bind rekening untuk deposit serta withdraw uang masuk dan keluar selama bermain. Awalnya terasa mudah. Aku menang di beberapa kesempatan. Namun sepertinya, ini menjadi awal musibah itu dimulai.
Kemenangan di awal membuatku kehilangan kewaspadaan. Seolah terbawa euforia atas kemenangan demi kemenangan. Aku terus memainkan permainan ini. Dengan modal kecil, aku mendapatkan untung yang besar. Tentu sudah jadi sifat manusia untuk tidak pernah puas. Keesokan harinya aku kembali memainkannya. Lagi dan lagi. Hingga, aku mulai menuai kekalahan.
Kekalahan yang bodohnya tidak membuatku jera. Aku masih memainkannya. Aku ingin uangku kembali. Aku sudah menggunakan tabunganku untuk bisa terus bermain. Aku tidak boleh kalah. Begitu pikirku. Untuk menebus kekalahanku, aku pun terpaksa meminjam pinjol. Sebuah hal yang awalnya aku tolak mentah-mentah. Namun seolah menjilat ludah sendiri, aku malah menggunakannya untuk terus bermain judi online.
Kekalahan yang berlanjut, membuatku semakin bangkrut. Uang dari pinjol sudah aku habiskan untuk bermain judi online. Hanya karena sebuah harapan kosong yang disebut kemenangan. Aku menghela nafas panjang-panjang. Hutangku sudah mencapai puluhan juta saat ini. Aku bahkan bingung akan membayar hutangku di pinjol dengan cara apa. Sementara uang UKT-ku tak sedikitpun tersentuh.
Meminjam teman? Tentu itu sudah aku lakukan. Meminjam atasan tempatku bekerja? Aku juga sudah melakukannya. Namun itu hanya cukup untuk membayar bunganya saja. Hari demi hari, aku terus diteror oleh debt collector. Mereka terus menagih pembayaran hutang-hutangku yang telah jatuh tempo, pagi hingga malam. Tak peduli di kampus, tempat kerja atau kosanku. Tidak ada tempat yang lolos dari pantauan mereka.
Aku mulai putus asa. Apa aku akhiri hidup saja? Malam itu, aku hampir saja menggantung diriku. Andai saja tidak terbayang sosok emak di desa, hal itu pasti kulakukan. Aku menangis tersedu-sedu. Lama aku berpikir, hingga aku rasa inilah pilihan terbaik. Aku tidak punya pilihan lain, selain memutuskan untuk berhenti kuliah. Aku harus bekerja demi melunasi hutang-hutangku. Biarlah aku pendam impianku itu disini. Kini, aku harus menuai apa yang telah aku tanam.
The End
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H