Mohon tunggu...
Eka MP
Eka MP Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis - Blogger

Pecandu Teh dan Penikmat Buku

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Setangkup Nostalgia dalam Semangkuk Bubur Cikini

30 Desember 2021   22:47 Diperbarui: 30 Desember 2021   22:56 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dokpri
Dokpri

Saya berhenti di depan kedai bubur ayam H.R Suleman yang terletak di pertigaan jalan Cikini Raya dan jalan Cisadane. Letaknya strategis dan mudah ditemukan. Tak terlalu jauh juga dari stasiun kereta Cikini. Bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki sebentar saja.

Sebelumnya lokasi kedai yang terkenal dengan sebutan BurCik (Bubur Cikini) ini tidak di situ tetapi berpindah-pindah sesuai kondisi. Namun masih tetap di sepanjang jalan Cikini.

Berhubung saya datang sudah lewat jam makan siang maka kedainya tampak sepi. Biasanya kedai ramai sejak buka pukul 6.00 Wib sampai sekitar pukul 11.00 Wib. Lepas itu sepi sampai sehabis Maghrib. Memang kedai BurCik buka sampai malam untuk menyelamatkan siapapun yang kelaparan seporsi tanpa telur hanya sekitar dua puluh lima ribu rupiah saja.

Yang unik dari BurCik ini adalah rempah-rempah yang terdapat dalam olahan buburnya. Jadi meskipun tanpa kuah kuning rasanya tetap lezat.

Di depan gerobaknya tertulis bubur Cirebon, tapi dibuburnya diberi Caipo atau lobak asin seperti bubur ala Cina. Rasa rempah bercampur asin Caipo dan gurih cakwe berpadu dengan suwiran ayam dan taburan emping membuat semangkuk BurCik hangat menjadi istimewa. Wajar saja kalau sejak tahun 1960an hingga sekarang masih bertahan dan tetap digemari pelanggan.

Benar-benar pas untuk saya yang kelaparan. Seraya menikmati bubur hangat ingatan saya melayang pada beberapa tahun silam saat saya bersama teman-teman berkumpul di Taman Ismail Marzuki (TIM) di malam Minggu. Entah menonton film atau pertunjukan theater slatau bahkan hanya nongkrong dan bercengkrama melepaskan penat saat lapar pasti kami akan meluncur ke BurCik. Selain enak tentu saja karena buka sampai malam.

Siang itu lalulintas lengang karena bertepatan dengan hari libur nasional. Biasanya jalan Cikini Raya selalu dipadati kendaraan. Jadilah suasana kedai semakin terasa sepi.  Membuat pikiran saya semakin berkelana kemana-mana.

Khususnya kepada orang-orang yang juga penggemar BurCik sejak tahun 1960an, atau remaja di era 70an. Mereka pasti akan membuat kegaduhan dengan pembicaraan penuh semangat dan kegembiraan saat menikmati semangkuk bubur Cikini bersama teman-teman. Seperti yang juga saya lakukan dulu.

Rasanya aneh, lucu dan membuat takjub juga memikirkan orang-orang yang punya kenangan dari semangkuk bubur ayam seperti saya. Legendaris karena rasanya pun karena nostalgia yang tercipta.

Ah, saya jadi merindukan menikmati bubur Cikini bersama teman-teman lama dan berbagi setangkup nostalgia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun