Suatu Malam di Akhir Ramadhan
Di televisi sedang ramai berita orang-orang yang ingin mudik lebaran. Kalau lihat ini pasti Papa akan berkomentar, "Ngapain maksa mudik sampai nyiksa diri."
Lalu kita akan saling menimpali komentar. Kemudian akan berdiskusi panjang lebar yang melenceng dari pembicaraan awal. Selalu begitu kan, Pa. Kita asyik berdebat tentang hal apapun meski sepele.
Malam ini memandang fotomu membuatku rindu kampung halaman. Sudah dua kali lebaran tidak mudik karena pandemi. Artinya aku tak bisa menjenguk pusaramu.
Sejak tak lagi berada di dunia yang sama hal yang kurindukan adalah diskusi dan perdebatan kita. Selalu ada ilmu baru setiap kali kita bicara.
Entah bagaimana mendefinisikan hubungan ayah dan anak perempuannya ini. Tak pernah dimanja-manja seperti anak perempuan kesayangan. Mungkin karena kita dua pribadi yang berbeda. Papa yang pendiam dan tenang sementara aku yang selalu tak bisa diam dan berisik mungkin membuat kepalamu pusing.
Tapi setiap kali kita bicara tentang buku ada ikatan tak kasat mata di antara kita. Selalu asyik bicara apapun denganmu.
Aku masih ingat sewaktu kecil pernah demo menuntut keadilan. Kasusnya terkait perebutan pedang mainan. Papa bilang pedang itu untuk anak laki-laki.. Aku protes keras, "Kenapa anak perempuan nggak boleh dapat pedang juga?"
Bukannya menenangkan gadis kecilnya, justru aku digiring ke depan papan tulis. Meski bingung aku tetap duduk di depan papan tulis dan menunggu.
Kemudian Papa menjelaskan tentang konsep keadilan komutatif dan Keadilan distributif kepada anak berusia delapan tahun. Dengan contoh gambar menggunakan kapur berwarna-warni.
Memangnya apa yang ada di pikiran Papa ,sih? Sampai-sampai menjelaskan tentang konsep keadilan Aristoteles sedetail itu kepada anak sekolah dasar?
Tentu saja aku tetap protes tidak peduli soal keadilan distibutif. Pokoknya aku juga mau pedang. Bukan karena iri hati. Tapi kalau tidak punya pedang aku kan tidak bisa ikut bertarung. Menonton orang bertarung sungguh membosankan.
Akhirnya Papa menyerah dan membuat sebuah golok untukku. Golok yang dibuat sendiri dari triplex. Dan aku bahagia akhirnya bisa ikut terjun di kancah pertarungan para jawara.
Ingat nggak Pa, waktu di kampung halaman malam-malam kita keluar untuk melihat bintang? Di kebun belakang yang gelap langit justru terang oleh hamparan bintang. Papa bilang karena gelap dan tak ada polusi makan bintang bisa terlihat dengan jelas.
Setiap pembicaraan selalu ada ilmu. Malam itu aku belajar tentang rasi bintang pun kisah Bima Sakti yang terbelit ular. Lalu ada juga kisah-kisah Baratayudha lainnya.
Papa yang mengajarkan untuk bisa ini dan itu,harus mandiri dan bisa bertahan hidup di manapun. Harus fleksibel dan bisa beradaptasi dengan lingkungan apapun.
Ramadhan sudah hampir usai. Sedih rasanya berpisah dengan bulan penuh berkah ini. Pun sedih tak bisa mengunjungi makammu, Pa.
Entah kapan pandemi ini berakhir dan aku bisa leluasa melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman. Tempat pusaramu berada.
Tempat semua kenangan indah tersimpan pada helai-helai daun jeruk Bali. Mengalir melalui riak air sungai di belakang rumah. Kenangan yang menguar pada aroma sambel pecel dan tempe goreng hangat.
Ah, rindu ini semakin menyesakkan dada saja. Tapi aku tak bisa sesuka hati melangkah pergi menjengukmu. Ada tanggung jawab juga di sini. Di kota tempat kita tinggal sebelum kau diminta pulang ke tanah kelahiranmu dan bersemayam selamanya di sana.
Hanya doa yang bisa kulangitkan di sepanjang hidupku. Semoga rinduku ini sampai padamu.
Love U ❤️
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H