Mohon tunggu...
Eka MP
Eka MP Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis - Blogger

Pecandu Teh dan Penikmat Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Candenza di Ujung Simfoni

10 Maret 2020   20:53 Diperbarui: 10 Maret 2020   20:55 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
diolah dari quartahospitalityinrome.com | Cadenza di Ujung Simfoni

“Ya, itu tiket kebebasanku, Ca. Musik satu-satunya alasan yang bagus untuk lari dari rumah. Kau juga lulus seleksi awal kan?”

“Aku tak akan mengambilnya. Kupikir aku akan terpenjara di kota ini selamanya. Bahkan musik sepertinya tak bisa menjadi tiketku lari dari rumah. Kau juga tahu umurku takkan panjang.”

Dani tahu, dengan penyakit  jantung bawaan yang diderita Calista sejak kecil tak memungkinkannya jauh dari rumah dan dapat merenggut nyawanya sewaktu-waktu.

“Berjanjilah satu hal padaku, Ca. Teruslah berusaha sembuh dan tetap berlatih piano. Aku akan menyiapkan sebuah Cadenza untukmu.”
Gadis itu berbalik menatapnya. Matanya membulat. “Kau akan menciptakan sebuah simfoni yang indah kan? Aku tahu kau akan menjadi seorang komponis hebat. Kau terlalu mencintai musik.”

“Entahlah. Aku tak tahu apa aku mencintainya atau justru membencinya. Musiklah yang membuatku terpenjara oleh ambisi ayahku. Namun musik juga yang membebaskan jiwaku dari semua belenggu kehidupan. Tempatku melarikan diri dari kenyataan.”

“Kau membenci ayahmu?”

“Apa kau tahu rasanya membenci sekaligus mencintai sesuatu atau seseorang? Aku benar-benar tak tahu harus merasa seperti apa, Ca. Sejak kecil hanya ada kami berdua. Aku bahkan tak tahu dimana ibuku apakah masih hidup atau tidak. Tak ada yang mau memberiku informasi apapun.”

“Yah, kita sama-sama terpenjara. Kau oleh musik dan ayahmu, sementara aku oleh penyakit dan keluargaku.”

“Kita hanya harus bertahan, Ca. Bersama-sama sampai saatnya kau memainkan Cadenza yang kupersiapkan untukmu. Janji, ya.” Dani menyodorkan jari kelingkingnya yang disambut oleh Calista. “Janji”.

Gedung Kesenian Jakarta Beberapa Tahun Kemudian
Matanya nanar menatap dari balik tirai panggung, kursi pengunjung semakin penuh artinya sebentar lagi pertunjukkan akan dimulai. Jari-jarinya dingin dan gemetar. Jelas ini bukan pertunjukkan pertamanya di atas panggung, dia bahkan pernah melakukannya di depan penonton yang lebih banyak. Namun malam ini terasa istimewa mengingat yang dipentaskan adalah sebuah simfoni karya “Daniswara Lokananta”.

Saat pembukaan seorang Master of Ceremony menjelaskan tentang sang komponis. “Selama bertahun-tahun komponis muda ini telah mengibarkan namanya di manca negara. Kali ini masyarakat Indonesia mendapat kesempatan menikmatinya secara langsung.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun