Mohon tunggu...
Eka Setiana
Eka Setiana Mohon Tunggu... -

Psi '14 UIN Maliki Malang "Sesuatu" akan berharga apabila kamu mengerti akan "makna"nya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibu... Ayah... Ingatkan Aku!

8 Desember 2014   07:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:49 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sudut desa, di salah satu kabupaten yang ada di Jawa Timur kisah ini dimulai. Sebut saja Bagas, ia adalah laki – laki yang lumayan tampan. Berasal dari kalangan keluarga menengah ke atas. Setelah tamat SMP , ia mendapat kesempatan untuk melanjutkan sekolah di pusat kota, yaitu kota Surabaya.

Setelah ia resmi diterima menjadi siswa salah satu sekolah elite di Surabaya, ia mulai melakukan adaptasi. Maklumlah, tempat ia menempa ilmu sekarang sangat bertolak belakang dengan tempat asalnya. Dari sisi inilah kisahnya dimulai.

Dua tahun berlalu. Tepatnya ketika kelas dua SMA. Di sudut sekolah seorang diri.

“Aku bosan disini. Aku lelah belajar. Aku ingin bekerja. Butuh uang untuk senang – senang. Aku gak cocok disini. Aku lebih suka di bengkel, aku bisa meluapkan semua yang aku inginkan disana” gerutu Bagas dalam hatinya.

Hari demi hari yang ia lalui di sekolah sudah tak sama rasanya dengan beberapa waktu yang lalu. Ia sudah merasa bosan berada di sekolah itu. Tak satu pun teman dan sahabat yang berani bertanya tentang ia. Yang ada dalam pikirannya hanya bagaimana caranya agar ia cepat keluar dari sekolah itu.

Ketika di kantin sekolah, Andika dan Sefri melihat Bagas duduk di deretan meja paling belakang, mereka menemui Bagas di sudut meja kantin itu.

“Heeii bro... Ngapain disini sendirian, kayak orang ilang aja lo”. Ujar Andika sambil duduk disampingnya.

“Gue udah males disini, gak betah, bosen dengan semua peraturan di sekolah ini”. Jawab Bagas sinis.

“Heiiii heii heiii sobat... Kenapa kayak gitu, ya beginilah kita sekolah sob !”. Ujar Sefri menambahkan.

Terjadi perdebatan panjang disana. Bagas tetap kukuh pada pendapat dan pendiriannya bahwa dia sudah tidak mendapatkan kenyamanan di sekolahnya, itu sangangat bertolak belakang dengan ekspresinya saat pertama kali masuk di sekolah elite tersebut.

Ya. Secara finansial mungkin dia masih bisa menyesuaikan dengan teman – teman sekolahnya. Namun secara sosial, dia tergolong anak yang pendiam dan tidak begitu dikenal disana. Sangat jelas terlihat mana yang “kota” dan “desa” terdapat kesenjangan disana. Bagas yang lahir dari keluarga menengah atas, namun dia juga lahir dikalangan keluarga yang tidak berpendidikan tinggi. Itulah yang membuat ia sedikit canggung dengan kondi di sekolahnya.

Hari berlalu begitu cepat tapi tidak untuk Bagas. Serasa tak ada kesan indah di sela – sela hari itu. Seiring berjalannya waktu, dia berbicara dengan orang tuanya, dia memaksa orang tuanya untuk mengabulkan permintaannya. Akhirnya, dengan pembicaraan yang sedikit alot Bagas diperbolehkan kembali ke kampung halaman. Dengan kata lain, ia sudah berhenti sekolah.

Tak terasa bak daun yang jatuh karena angin. Bagas kembali ke kampung kecil di sudut desa. Kedua orang tuanya sudah tak ingin mengurus apapun yang menyangkut dengannya. Terserah apa kata Bagas. Dunia Bagas yang sekarang sungguh tak dapat dibayangkan. Pergi pagi pulang malam. Di desa, ia justru mendapat teman yang sama sekali jauh dari hal positif.

Bagas bekerja namun uang ia gunakan untuk foya – foya. Dan hari – hari berlalu bagaikan sampah.

“Bro... Ayo kita minum, aku juga ada barang baru nih buat lo.” Kata Adrian lewat telepon.

“Oke bro. Gue OTW tempat biasa.” Jawab Adrian lugas.

Itulah rutinitas yang ia kerjakan selama di rumah dengan teman – temanny yang sama sekali tak mengerti pendidikan dan pastinya agama. Hari itu Bagas pergi ke tempat biasa ia nongkrong. Dengan rutinitas biasanya pula. Bagas dan teman – temannya pesta miras. Mereka membeli miras oplosan. Lebih jauh, Bagas diberi kokain oleh Adrian, dan tanpa pikir panjang ia memakan barang haram itu.

Fly. Ia serasa melayang – layang. Setiap hari ia disodori barang – barang seperti itu. Suatu ketika, Bagas bertemu dengan gadis kecil yang baru menginjak ABG. Gadis itu berpakaian layaknya pria. Lebih jauh Bagas mulai dekat dengan “sikecil” itu. Mereka menjalin hubungan.

Saat itu dirumah “sikecil”.

“Sayang, aku mau mandi dulu ya dikamar mandi kamarku. Kamu tunggu sini bentar ya sayangku?”. Kata sikecil

“Iya sayang aku tunggu”. Sahut Bagas.

Entah setan apa yang telah menghasut Bagas. Ia masuk kedalam kamar “sikecil” dan ia melihat “sikecil” sedang mandi tanpa sehelai benang pun yang melekat pada tubunya. “sikecil” pun tahu kalau Bagas mengintipnya. Namun “sikecil” tak merasa dirugikan. Justru ia keluar kamar mandi tanpa busana.

Keduanya pun melakukan hubungan suami istri tanpa meperdulikan apapun. Mereka seaakn tak menghiraukan agama, keluarga, dan kehormatannya. Itu adalah kali pertama mereka melakukan hal seperti itu.

Setelah melakukan hal itu mereka seakan tak melakukan apapun. Mereka bersikap seperti biasa. Hanya nikmat yang ada di benak mereka. Bagaikan memakai narkoba, mereka kecanduan dengan “hal itu”. Setiap waktu, bahkan seminggu 3 – 4 kali.

Tak jauh berbeda dengan Bagas, “sikecil” juga memiliki masalah dengan keluarganya. Ia tak pernah merasakan kasih sayang orang tua. Itulah salah satu penyebab ia berperilaku bebas.

Hal itu akan berdampak pada psikologisnya. Ya orang tua sangat berperan penting dalam hal ini. Perilaku kita, sikap kita, bergantung pada diri kita, keluarga kita, dan lingkungan tempat kita tinggal.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun