Mohon tunggu...
Iswasta Eka
Iswasta Eka Mohon Tunggu... Dosen - Dosen PGSD Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Certified Instructor Hypnotherapy,baru mencoba menulis 7 buah buku, 5 HAKI. Menulis di mass media sejak 1980 tersebar di Surat kabar dan majalah nasional maupun lokal, Tulisan kolom maupun cerpen dalam bahasa Indonesia dan Jawa.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Cintaku Terbit di Ufuk Timur

24 Mei 2024   18:35 Diperbarui: 24 Mei 2024   18:37 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Bagian ke satu

Langit timur belum ada tanda-tanda memerah,masih terhalang kabut pekat. Aku menunggu perahu datang dengan duduk di tepian pantai bersama teman-teman di Tim SPADA Indonesia, sebuah tim yang terbentuk karena adanya program pertukaran mahasiswa antara PGSD Universitas Muhammadiyah Purwokerto dengan PGSD UNIMUDA Sorong. Di seberang sana remang-remang nampak gundukan hitam yang merupakan sebuah pulau yang disebut Pulau Um.

Aku dan teman yang duduk di pantai Makbon, bagian wilayah Kabupaten Sorong sedang menunggu perahu yang akan menyeberangkanku ke pulau itu ditemani beberapa dosen UNIMUDA, dan salah satunya dosen baru yang masih muda serta baru bergabung dengan UNIMUDA sebulan yang lalu. Aku berlima, bersama Vika, Sibar, Reni dan Putra duduk di atas pohon yang batangnya mengantung dengan ujung menyentuh bibir pantai yang eksotis ditemai dosen muda tersebut, namanya Abdulrahman.

Abdulrahman memang orang Papua asli, tepatnya kampung Kokoda, tetapi tidak menggunakan nama Papuanya sejak kecil karena orang tuanya memeluk Islam setelah kuliah di Yogyakarta. Abdulrahman menjadi dosen yang paling sering menemani kami ketika keluar kampus karena dia belum mendapatkan jam mengajar.

Langit makin memerah di timur sana, laut memantulkan cahayanya yang mulai menunjukkan keindahan alam yang ada di timur Indonesia ini, tapi kami masih setia menunggu perahu. Nuansa yang romantis ini membuat kami memasa bodohkan perahu datang terlambat atau tidak, karena kami ingin menikmat dahulu munculnya matahari di timur sana. Sesekali kami mengobrol tapi juga sesekali duduk tepekur mengucap subhanallah melihat keindahan alam ini.

"Seandainya...... ?", aku mengguman dengan pandangan tetap melihat ke arah akan munculnya matahari merah.

"Seandainya apa Tri ?, tiba-tiba saja Vika bertanya padaku meskipun tidak aku tanya. Oh ya aku biasa dipanggil Tri atau Putri, sedang nama lengkapku Tantri Saputri, tapi aku sama sekali tidak ada hubungan keluarga dengan Putra yang saat ini juga ikut duduk bersama kami.

"Ga jadi ah",jawabku pendek.Terus terang jika aku jawab pertanyaan itu aku masih malu. Bagaimana tidak? Aku baru sampai Sorong seminggu yang lalu, dan baru kenal dengan dosen baru yang kini duduk bersama kami,tapi aku sudah ada rasa tertarik yang muncul sejak pertama kali aku bertemu dengannya, dan itu saat si dosen menjemput rombongan kami di bandara saat datang ke Sorong. Sebenarnya seandainya itu ada dalam hatiku,tapi entah mengapa terlontar dengan tidak aku sadari. 

Aku hanya berpikir seandainya aku bisa jadi istrinya, maka aku rela untuk meninggalkan tanah kelahiranku dan menetap di tanah Papua ini, yang setelah berada di sini baru kuketahui jika gambaran Papua yang selama ini ada ternyata jauh dari gambaran itu semua. Selama ini yang kuketahui tentang citra Papua adalah tanah yang jauh dari keramaian, yang sering terjadi perang antar suku, yang harga-harga barang serba mahal, yang orangnya keras dan kasar, yang suka mabok-mabokan dan stigma negatif lainnya. Ternyata itu semua tidak benar.

Diantara lamunan yang membuncah dalam pikiranku, sampai tidak memperhatikan teman-teman mulai berdiri, tiba-tiba saja aku mendengar suara, "Dik ayo berangkat, itu perahunya sudah datang", dan juga merasakan sentuhan halus di pundakku.

Aku terjaga dari lamunan yang indah,dan kembali pada kenyataan bahwa aku masih ada di pantai ini, pantai dengan pasir yang putih bersih dan air laut yang laksana air aqua. Sementara di ufuk timur sinar matahari sudah mulai kehilangan warna merahnya sedikit demi sedikit. Aku tersadar bahwa pundakku disentuh oleh dosen yang tadi muncul dalam lamunanku. Dosen yang aku impikan jadi pendamping hidupku. Apa itu salah ?

Aku bangkit pelan dari pohon yang aku gunakan sebagai tempat duduk dan berjalan menuju perahu. Jantungku berdebar makin kencang, dan mungkin wajahku memerah ketika dosen muda itu berjalan pelan juga di sebelahku, sementara teman-teman melihat ke arahku sambil senyum-senyum. Jalanku makin terasa berat,serasa ada puluhan kilo batu yang mengikat kakiku. Berat untuk melangkah tetapi sangat ingin untuk berjalan terus di sampingnya. Keinginan yang aku pendam serasa ingin segera kukeluarkan,tapi aku sadar bukan kodrat wanita untuk menyampaikan perasaan hati terlebih dulu pada seorang lelaki yang ingin dicintai.

********

bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun