Dalam KBBI, Produktivitas diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan sesuatu; daya produksi; keproduktifan. Saya pernah sok membuat hipotesis bahwa produktivitas dibentuk dari 2 kata, yaitu “produksi + aktivitas = produktivitas.” Tidak tahu benar atau salah. Setidaknya saya pernah membuat teori.
Namun yang pasti, isu minimnya produktivitas adalah masalah yang harus segera diselesaikan oleh bangsa ini.
Bangsa ini memang belum bisa dibilang sebagai bangsa yang produktif. Anak muda Indonesia terbukti lebih memilih menghabiskan waktunya untuk nongkrong bersama teman-temannya daripada belajar. Jika punya waktu kosong, anak muda Indonesia akan lebih memilih menggunakan waktunya untuk bermain social media, nonton tv, dan bermain game online daripada harus melakukan kegiatan produktif seperti olahraga, belajar bahasa asing atau membaca buku.
Begitu juga dengan generasi tuanya. Sebagai contoh, coba saja kita lihat kinerja DPR. Tahun 2016, DPR menargetkan untuk membuat 50 RUU. Namun, hanya 9 RUU yang berhasil dibuat dalam satu tahun. Tidak sampai seperlima dari target. Bukannya fokus bekerja, DPR malah sibuk membahas rencana renovasi gedung DPR, permintaan kenaikan tunjangan DPR dan permintaan paspor diplomatik. Permintaan mereka sangat bertolak belakang dengan kinerjanya.
Rakyat Indonesia sejatinya tidaklah bodoh. Lihat saja, setiap tahun selalu ada anak-anak muda Indonesia yang masuk TV karena memenangkan olimpiade sains tingkat internasional. Indonesia pernah juara olimpiade robot tingkat internasional. Anak muda Indonesia juga pernah membuat mobil listrik sendiri. Itu membuktikan bahwa otak orang Indonesia tidak bisa diragukan kecerdasannya.
Namun pertanyaannya, sekarang kemana semua orang-orang cemerlang itu? Semuanya seolah-olah hilang terbawa angin. Dulu berprestasi di tingkat internasional, sekarang malah dilupakan.
Banyak kalangan yang menyalahkan pemerintah. Orang-orang bilang bahwa pemerintah tidak mengapresiasi dan tidak mau mendanai karya anak bangsa. Tetapi menurut saya, untuk apa pemerintah mendanai karya anak bangsa?
Kita ambil contoh Rio Haryanto. Pemerintah pernah berwacana mengeluarkan dana sebesar 100 milyar rupiah untuk membiayai Rio Haryanto berlaga di F1, namun akhirnya batal terjadi. Banyak kalangan yang berpikir bahwa pemerintah tidak mendukung karier Rio di F1. Tetapi menurut saya, untuk apa karier Rio didukung pemerintah?
Indonesia punya Agnes Monica, Anggun, dan Rich Chigga, musisi Indonesia yang sudah menapaki karier di dunia internasional. Apakah mereka minta dana pemerintah? Tidak. Indonesia memiliki Tantowi Ahmad dan Liliyana Natsir yang meraih emas olimpiade. Apakah kemenangan mereka karena campur tangan pemerintah? Tidak juga. Indonesia punya Joey Alexander, pianis Indonesia kelahiran tahun 2003, yang mampu tampil di panggung Grammy dan mampu masuk 2 nominasi Grammy Award. Apakah Joey didanai pemerintah? Mana mungkin!
Prestasi mereka membuktikan bahwa "tidak ada dukungan pemerintah" bukanlah alasan untuk berhenti berkarya. Saya percaya jika Rio Haryanto tidak menyerah dan jika Tuhan mendukung, tidak mustahil untuk Rio berprestasi di F1 tanpa campur tangan pemerintah, namun karena kemampuannya sendiri.
Menurut saya, ada satu hal penting yang membuat rakyat Indonesia takut berkarya dan akhirnya menjadi tidak produktif, yaitu: rakyat Indonesia belum bisa mengatur bagaimana caranya berekspektasi dengan benar. Mungkin anda bertanya, "apa hubungannya ekspektasi dengan produktivitas?" Biar saya jelaskan. Berekspektasi adalah hal yang bagus, hal yang benar malah. Namun, akan menjadi salah jikalau kita hidup dalam ekspektasi dan malah tidak menerima realita yang ada.