Beberapa dekade terakhir negara-negara muslim dan non-muslim memusatkan perhatian terhadap ekonomi Islam. Indonesia juga mengambil peran sebagai negara yang berkeinginan mengembangkan ekonomi Islam. Ekonomi Islam dianggap sebagai solusi untuk keluar dari genggaman ekonomi konvensional yang dianggap gagal mempertahan diri terhadap krisis dalam suatu negara. Alasan inilah yang menjadikan ekonomi Islam dianggap perlu untuk diterapkan, selain ekonomi Islam juga memiliki daya tahan terhadap krisis. Dilain sisi ekonomi Islam juga sebagai solusi untuk keluar dari “ekonomi rente” yang menjadikan bunga sebagai top ikon ekonomi konvensional. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia 1997-1998 menjadi batu loncatan bagi pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) dalam memberikan regulasi yang khusus bagi ekonomi Islam. Ketahanan sektor perbankan non-bunga terhadap krisis menjadi salah satu faktor dalam mengembangkan ekonomi Islam nantinya.
Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia lebih cendrung dititik beratkan pada sektor perbankan. Akselarasi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan yang signifikan. Menurut data yang dirilis BI tahun 2011 pertumbuhan BUS dan UUS 2009 sebanyak 998 kantor, 2010 sebanyak 1477 kantor dan 2011 sebanyak 1737 kantor. Pertumbuhan ini menandakan suatu keseriusan BI untuk memberikan ruang yang memadai bagi perbankan syariah. Pertumbuhan ini juga akan memerlukan jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) internal yang besar. Potensi Indonesia secara makro masih sangat besar dalam pengembangan ekonomi Islam melalui sektor perbankan. Untuk menghadapi tantangan tersebut lembaga pendidikan berperan penting dalam mencetak SDM yang mumpuni dan paham akan mekanisme ekonomi dan perbankan.
Banyak hal yang telah dilakukan oleh lembaga yang berbasis syariah melakukan berkerjasama dengan beberapa universitas untuk meningkatkan mutu dan kualitas perbankan syariah Indonesia. Riset yang dilaksanakan secara rutin oleh lembaga tersebut belum memberikan dampak yang signifikan terhadap kinerja perbankan syariah. Hal ini tercermin dari masih relatif rendahnya dampak makro yang diberikan kepada masyarakat. Seperti halnya peningkatan taraf hidup rakyat miskin, dan perjanjian kontrak yang diberjalan pada perbankan syariah masih cendrung tidak menyentuh kontrak produktif. Kurangnya kontrak pada sektor produktif mencerminkan bahwa perbankan syariah masih cendrung mencari posisi “aman” demi keamanan modal bank dan tingginya resiko. Laporan BI tahun 2011 menyebutkan komposisi pembiayaan berdasarkan kontrak, murabahah 61,7% dan mudharabah 19,9% per desember 2006, sedangkan pada tahun 2011, murabahah 54,3% dan mudharabah 10,3%.
Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia masih menyuntuh sektor industri perbankan. Peran ekonomi Islam di Indonesia diharapkan tidak hanya dalam ranah mikro namun juga memiliki peran pada ranah makro. Ekonomi Islam terasa sangat perlu untuk masuk pada ranah makro untuk dapat memberikan dampak lebih luas melalui kebijakan-kebijakan pemerintah. Teori-teori ekonomi Islam mikro dan makro masih memiliki ruang yang sangat luas untuk ikut andil dalam memperkaya hazanah keilmuan Ekonomika Islam. Persentase riset terhadap perbankan syariah masih lebih besar bila dibandingkan riset terhadap teori ekonomi islam mikro dan makro. Dengan lahirnya teori tersebut dalam jangka panjang diharapkan dapat mensubstitusi ataupun dapat mengkomplementasi teori ekonomi konvensional yang berkembang selama ini. Beberapa kelemahan yang terdapat pada teori ekonomi konvensional dapat menjadi ruang untuk dibenahi oleh ekonomi Islam. kita tahu bahwa ekonomi Islam tidak hanya ranah perbankan akan tetapi mencakup aspek universal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H