Terbatasnya sumber daya, modal, dan lapangan kerja menjadi penyebab kemiskinan. Faktor selanjutnya adalah malas bekerja, sebagian dari mereka memiliki etos kerja yang rendah dan bersandar pada nasib. Tingkat pendidikan yang rendah juga menjadi salah satu faktor dari kemiskinan. Sedangkan, sebagai individu kita harus memiliki keterampilan yang nantinya diterapkan dalam mencari pekerjaan maupun membangun bisnis. Salah satu sarana untuk mendapatkan keterampilan ialah melalui bangku pendidikan.
Para calon penerus bangsa yang tidak dapat mengenyam bangku pendidikan tidaklah sedikit. Pandemi COVID-19 juga turut menjadi faktor anak Indonesia putus sekolah. Menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menghasilkan angka putus sekolah pada saat pandemi di tahun 2021 naik 10% jika dibandingkan dengan tahun 2019. Berbagai sektor di Indonesia yang terdampak oleh pandemi COVID-19, menyebabkan banyak orang tua yang menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ataupun kelesuan ekonomi. Tidak sedikit juga anak Indonesia yang harus berhenti sekolah karena harus fokus bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan sandang mereka.
Menurut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, program pendidikan 12 tahun ini diselenggarakan dalam rangka meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Menurutnya, Indeks Pembangunan Manusia sangat erat kaitannya dengan pendidikan. Dengan pendidikan, kehidupan demokrasi juga akan terdampak. Karena, pada dasarnya kelancaran demokrasi amat bergantung pada pendidikan masyarakatnya. (2012)
Melalui pendidikan, cara pandang manusia terhadap suatu hal bisa berbeda. Berdasarkan penelitian yang dituang ke dalam Educational Psychology Journal Universitas Negeri Semarang (2013), pendidikan orang tua mempengaruhi pandangan mereka terhadap pendidikan anaknya. Dalam penelitian tersebut, orang tua lulusan Sekolah Dasar memiliki pandangan bahwa pendidikan tinggi hanya penting dijalani oleh anak laki – laki, karena anak laki – laki akan memiliki tanggung jawab yang lebih tinggi nantinya. Sejatinya, pendidikan tinggi merupakan hak seluruh anak Indonesia, baik laki – laki maupun perempuan. Pendidikan tidak hanya mempengaruhi diri individu tersebut, namun juga akan berdampak pada kehidupan mereka kedepannya, contohnya saat mereka menikah dan kemudian memiliki anak. (Muamaroh, 2013)
Kemiskinan yang terjadi di Indonesia menyebabkan adanya ketimpangan sosial dalam bidang pendidikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam kurun waktu 2020 sampai 2021, terdapat 940.000 anak Indonesia yang bekerja dan kemudian putus sekolah. Undang – Undang nomor 13 tahun 2003 sudah melarang memperkerjakan anak dibawah umur 18 tahun. Ironinya, 940.000 anak yang berumur 10-17 tahun merupakan anak dibawah umur yang terpaksa bekerja karena keadaan. (Badan Pusat Statistik, 2020)
Di sisi lain, banyak juga anak Indonesia yang tetap bisa melanjutkan pendidikannya. Hal ini menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam bidang pendidikan dan akibatnya ketidakmerataan pendidikan. Kemiskinan atau masalah ekonomi memang bukan satu – satunya faktor penyebab ketidakmerataan pendidikan. Namun memang faktor paling utama yang mempengaruhi anak Indonesia putus sekolah adalah faktor ekonomi. Menurut data yang dimiliki  oleh United Nations Childrens Fund (UNICEF), di tahun 2020 sebanyak 74% anak Indonesia tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena tidak memiliki biaya. (UNICEF, 2020)
Dunia yang berkembang dengan pesat menuntut individu untuk selalu mengikuti perkembangannya. Begitu pula dengan sistem pendidikan, sistem pendidikan yang apik akan membawa para peserta didik mengarungi dunia yang berkembang pesat. Selaras dengan tujuan nasional bangsa Indonesia yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, pemerintah merancang program dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Program Merdeka Belajar yang dijalankan melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) merupakan hasil dari pemikiran para ahli, terutama Menteri Pendidikan, Nadiem Makariem. Terdapat 10 Episode dalam Program Merdeka Belajar, diantaranya adalah Kampus Merdeka, KIP Kuliah, Guru Penggerak, Perluasan Program Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan, dan lainnya.
Melihat tingginya angka putus sekolah yang dikarenakan faktor ekonomi, pemerintah merancang program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. Program KIP Kuliah merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan pemerataan pendidikan di Indonesia, karena semua anak memiliki kesempatan yang sama dalam melanjutkan pendidikan ke tingkat perkuliahan. Sebagai penerus bangsa, anak Indonesia haruslah mendapat pendidikan yang layak demi kelangsungan hidup mereka. Ilmu memang bisa di dapatkan melalui media mana saja, terlebih dengan kemajuan teknologi yang ada. Namun, pendidikan tinggi akan membentuk pola pikir para mahasiswa serta para mahasiswa akan memperoleh keterampilan yang berguna di masa depan.
Pendidikan merupakan tonggak dari kecerdasan dan kemajuan suatu bangsa. Dengan mengikuti program KIP Kuliah, para mahasiswa maupun calon mahasiswa yang memiliki persoalan dalam hal biaya bisa tetap menempuh pendidikan yang layak. Pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp 2,5 triliun untuk program KIP Kuliah, jauh lebih besar dari dana yang dikeluarkan pada tahun 2020. Program KIP Kuliah tidak hanya berlaku di Perguruan Tinggi Negeri, dapat juga berlaku di Perguruan Tinggi Swasta. Tidak hanya biaya kuliah, Program KIP Kuliah juga membantu biaya hidup para mahasiswa yang membutuhkan. Kini, para siswa SD, SMP, dan SMA tidak perlu risau lagi karena adanya program KIP Kuliah. Â
Penutup
      Setiap anak Indonesia memiliki hak yang sama dalam menempuh pendidikan. Namun, sayangnya masih banyak anak Indonesia yang terpaksa tidak bisa melanjutkan pendidikan mereka karena masalah ekonomi. Pemerintah menghadirkan solusi bagi generasi penerus bangsa yang masih ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, namun terhambat karena tidak memiliki biaya. Dengan diluncurkannya program KIP Kuliah, anak Indonesia yang memiliki kesulitan biaya dapat tetap berkuliah.