Penulis: Emerentiana Ivana Retnoningsih
Asal: Bekasi, Jawa  Barat
Pendahuluan
Telah 76 tahun Indonesia merdeka, telah banyak juga perubahan yang dilakukan dalam rangka mencerdaskan bangsa. Menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, setiap tahunnya ada 1,7 juta insan yang telah berhasil menempuh pendidikan hingga sarjana. Namun, apakah seluruh anak di Indonesia dapat menempuh pendidikan? Sayangnya tidak, menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, terdapat 75.303 anak di Indonesia yang putus sekolah di tahun 2021. Terdapat faktor yang mempengaruhi anak Indonesia putus sekolah antara lain, faktor budaya, faktor ekonomi, dan faktor infrastruktur yang tidak memadai.
Meski sudah memasuki era modern, masih banyak anak Indonesia yang tidak dapat melanjutkan pendiddikan mereka ke tingkat perkuliahan. Salah satu alasan banyaknya anak Indonesia yang putus sekolah adalah menikah muda. Penyebab terbesar para orang tua menikahkan anaknya di usia yang masih sangat belia adalah faktor ekonomi. Di lansir dari iNews.id, sampai dengan bulan September 2021, terdapat 19 siswa SMK Negeri 1 Simpang Hilir putus sekolah dan rata – rata memilih bekerja dan menikah.
Pembahasan
      Pendidikan merupakan tonggak dari suatu bangsa. Kecerdasan suatu bangsa bergantung pada pendidikan setiap insannya. Melalui pendidikan, watak serta adab setiap individu terbentuk. Selain itu, pendidikan dapat berfungsi sebagai wadah unttuk menyelami berbagai macam keterampilan, sehingga masing – masing individu bisa mengetahui minat dan bakatnya.
      Namun, tidak semua anak Indonesia bisa mengenyam bangku pendidikan hingga ke jenjang perkuliahan. Alasan terbesar mereka putus sekolah adalah faktor ekonomi. Menurut data yang bersumber dari Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), lebih dari 1,5 juta anak Indonesia yang tidak bisa menempuh bangku perkuliahan akibat kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. (Kemenko PMK, 2021)
Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) mengharuskan siswa memiliki gawai yang memadai dan kuota internet yang harus selalu terisi, sedangkan usaha sebagian orang tua melesu karena COVID-19. Katadata Insight Center (KIC) melakukan survei dengan responden yang menjalankan UMKM di Jabodetabek. Hasilnya menunjukkan 63,9% dari 206 responden mengalami penurunan omzet lebih dari 30%. (KIC, 2020). Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), lebih dari 70 ribu karyawan yang menjadi korban dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat pandemi COVID-19. Sebagian dari orang tua tidak memiliki biaya untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang selanjutnya, sehingga mau tidak mau anak mereka harus putus sekolah. (Kemnaker, 2021)
Selain itu, terdapat stigma masih melekat di kalangan masyarakat Indonesia terutama untuk kaum perempuan yaitu perempuan tidak perlu bersekolah tinggi – tinggi karena pada akhirnya hanya akan menjadi ibu rumah tangga. Contohnya terjadi pada pengguna aplikasi Twitter dengan akun @dk**t*kag, “lebih takut lagi kalo ada yg bilang gini "loh kamu kan perempuan gausa sekolah jauh jauh, sekolah tinggi tinggi toh nanti ujung ujung nya di dapur" ada bude ku yg kaya gini makanya dr kemaren bersyukur bgt blm ketemu karna takut ditanyain tp tar lebaran pasti ketemu. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik ((BPS) pada tahun 2018, terdapat 94,72 % perempuan yang menikah di usia 18 tahun dan kemudian putus sekolah. Hanya sekitar 5,28 persen yang melanjutkan pendidikan mereka. (Badan Pusat Statistik, 2018)
Indonesia termasuk negara ke delapan di dunia yang mengalami kemiskinan, menurut ekonom senior, Faisal Basri dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). (2021) Data yang dimiliki oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa Indonesia mengalami penurunan angka kemiskinan sebanyak 9,71% pada September 2021 dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 26,5 juta jiwa. Meskipun angka kemiskinan mengalami penurunan, namun masalah kemiskinan di Indonesia tidak serta merta teratasi. (Badan Pusat Statistik, 2021)