Sebuah tayangan di salah satu stasiun televisi swasta berhasil menyedot perhatianku. Jangan anggap aku kecil. Sebuah acara realitishow yang bertajuk sama dengan judul tulisan ini memang sengaja kubuat untuk mengapresiasi tayangan tersebut. Di tengah maraknya program televisi yang menonjolkan ajang pencarian bakat, beragam sinetron, sampai dengan acara musik yang semakin melenakan masyarakat sehingga betah duduk berlama-lama di depan layar kaca, tayangan 'Jangan Anggap Aku Kecil' memberikan sesuatu yang baru yang tak sekedar tontonan namun juga bisa dijadikan tuntunan.
Tayangan JAAK ini menyajikan cerita yang berbeda dalam setiap episodenya. Yang dikisahkan dalam tayangan ini tentu saja kisah seorang anak. Meskipun demikian janganlah anggap mereka itu kecil. Bahkan bisa jadi mereka telah melakukan hal besar dibanding kita. Sebut saja Wahyu, seorang anak usia sekolah dasar yang harus buru-buru meninggalkan sekolah seusai jam pelajaran selesai hanya untuk memulung. Mencari penghasilan tambahan untuk membantu ibunya. Ayahnya entah pergi ke mana. Ia hidup hanya dengan Ibu dan adiknya yang masih balita. Sebagai satu-satunya laki-laki di rumah Ia merasa berkewajiban membahagiakan dua wanita berharga dalam hidupnya.
Suatu hari, seperti biasa Ia pergi memulung seusai pulang sekolah. Hari itu Ia bertekad membawa pulang sebuah kue ulang tahun untuk adikknya yang selama ini begitu menginginkan kue tersebut. Bagi keluarga Wahyu kue adalah makanan mahal yang hanya bisa diimpikan, namun demi membahagiakan adiknya Ia bertekad akan membeli sebuah kue ulang tahun dari hasil memulungnya hari ini. Setelah berlelah-lelah memulung dari tong sampah ke tong sampah, akhirnya Wahyu dapat membeli kue itu juga. Wahyu pun tersenyum sumringah. Terbayang sudah senyum adiknya ketika nanti menerima kue tersebut. Wahyu menjadi tak sabar untuk cepat sampai di rumah.
Wahyu melenggang keluar dari toko kue tersebut dengan perasaan lega. Senyum lebar menghiasi wajah kumalnya. Akan tetapi di depan toko kue tersebut Wahyu melihat seorang anak perempuan tengah memakan makanan dari hasil mengais-ngais sampah. Hati Wahyu bergemuruh. Perang batin langsung melanda hatinya. Antara kasihan dengan anak perempuan tersebut atau adiknya. Ah, betapa malunya. Anak sekecil Wahyu saja begitu peka. Wahyu pun merelakan kue ulang tahun adiknya untuk anak perempuan tadi. Alhasil, Wahyu harus pergi memulung lagi agar bisa membeli kue ulang tahun kembali.
Meski malam telah memakan siang, tekad Wahyu untuk pulang dengan membawa kue tetap tak surut. Dengan membawa uang hasil memulung keduanya, Wahyu pergi ke toko kue itu kembali. Akan tetapi Wahyu yang merasa uangnya kurang tak berani masuk ke dalam toko. Ia terduduk diam di emperan toko sambil memutar otaknya. Bagaimana lagi Ia harus mencari uang tambahan agar cukup untuk membeli kue? Di tengah kebingungannya tersebut, seorang ibu yang baru saja keluar dari toko kue itu tak sengaja tertabrak oleh seseorang sehingga barang bawaannya berhamburan. Tanpa berpikir panjang Wahyu langsung beranjak untuk membantu ibu tersebut. Merasa terbantu oleh Wahyu, ibu itu kemudian kembali masuk ke toko kue itu untuk membeli sebuah kue dan memberikannya kepada Wahyu sebagai ungkapan terima kasih. Saat membuka kotak kue itu Wahyu sangat senang sekali. Kue ulang tahun yang diberikannya kepada anak perempuan tadi diganti oleh Tuhan dengan kue ulang tahun yang lebih besar. Betapa Tuhan tak menyia-nyiakan kebaikan hamba-Nya sekecil apapun. Semoga kita selalu bisa belajar dari seorang anak seperti Wahyu. Bahwa berbagi dengan harta terakhir itu meski kecil di mata manusia, bisa jadi besar nilainya di mata Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H