24 Desember 2011. Mata pun terbuka, tertutup lagi di menit yang sama. Indah dalam mimpi selalu tercipta, pun dengan kesengsaraan alam mimpi. Namun, pagi itu tak boleh ada yang menghalangi ku untuk bangun. Tak sepotong mimpi pun boleh menghalangi!
Dengan sedikit energi aku pun mengumpulkan ‘nyawa’ dan memberanikan diri beranjak dari pulau kapuk, fasilitas untuk menikmati mimpi itu. Kumal, sejenak berpikir untuk mengganti seprei yang telah 2 bulan menemani ku menjelajah ke dunia maya fikiran. Tiba-tiba saja, DUAARRR!! gendang telinga ku sakit, terdapat suara yang merambat ke telinga dengan kekuatan suara yang besar!
DUAARRRR!! Kedua kali pun suara itu merambat memeka telinga. Belum saja cukup waktu untuk ‘nyawa’ terkumpul, aku terkaget dalam lamun, dalam diam pagi itu. Sebuah suara yang sering sekali terdengar di liputan aljazeera dari negeri minyak sembilan tahun lalu. Ya! Itu adalah suara selongsong peluru yang keluar dari pematiknya. Ada apa gerangan??
Dengan wajah kuyu dan masih bertelanjang dada, aku beranikan diri melihat keluar dari jendela kecil di sudut kamar. Wow! Walau masih dilanda kelinglungan, aku pun takjub dengan pemandangan ini, pemandangan yang jarang terlihat.
Mengerikan dan mencekam. Tembakan-tembakan ke udara secra terus menerus terdengar. Kerumunan orang yang berjumlah ratusan saling adu otot dengan pihak berbaju cokelat yang tak kalah banyaknya, saling dorong dan lempar batu tak mau mereda. Terdapat beberapa yang menenteng gagah senjata tajam nya dengan percikan emosi. Tak mau kalah, si korps berbaju cokelat menodong-todongkan pistolnya menembak ke atas, entah kosong atau berisi. Terlihat wajah getir mereka. Sesosok manusia pun ku lihat bersimbah darah, beberapa teman pun mengerubungi dan dengan cepat membopongnya ke tempat yang lebih aman. Tak hanya itu, beberapa orang terlihat tergeletak kesakitan dan hanya meringis meminta pertolongan.
Beberapa saat kemudian, terjadi aksi lebih brutal si korps baju cokelat, dengan tongkat hitamnya, dengan gagah mereka mengeja para demosntran. Tak hanya melepaskan peluru dari senjatanya, dengan wajah bengis, mereka memukul-mukulkan tongkatnya ke badan para demonstran. Disisi lain kejadian, terdapat beberapa kobaran api dan asap yang mengepul menambah kesan mencekam. Rumah disekitar kejadian sudah tak berbentuk, kaca-kaca pecar berserak, terdapat pula beberapa demonstran yang sudah dibawa pergi sang korps cokelat smabil dipukuli. Keji sekali pikirku. Namun aku pun langsung tersadar dalam pikiran.
Apa ini? Kenapa bisa begini? Dimanakah aku ini? Perasaan bingung bercampur takut melihat apa yang terjadi di balik jendela itu pun menjalar cepat, merambat ke otak untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan spontan itu.
Latar pun terlihat ketika aku mencoba melihat dengan lebih detail. Ya! Terjawab lah dimana aku berada, Pelabuhan Sape! Namun sejurus kemudian, aku pun langsung berlanjut terbingung. Pelabuhan sape?
Suara ombak pelabuhan pun kalah dengan suara-suara para demonstran, suara tembakan para korps baju cokelat. Otot leher saling beradu mengeluarkan celaan dan umpatan khas orang timur. Sekeblat terlihat dari bendera dan spanduk-spanduk yang telah berserak ke jalan. Tertulis kecaman akan perusahaan pertambangan dan tulisan pro lingkungan. Terlihat pula para demonstran memakai baju bertuliskan “ Front Rakyat Anti Tambang”
Sepertinya tabir pun mulai terkuak dalam pikiran ku, ini adalah Pelabuhan Sape yang semenjak 4 hari lalu terjadi pendudukan dan blokade barang-barang dari pelabuhan tersebut. Aksi yang menolak adanya pertambangan emas di daerah tersebut karena dikhawatirkan merusak lingkungan sekitar dan mematikan usaha masyarakat. Pertambangan merusak tanah mereka untuk bertani, merusak air laut mereka untukmencari ikan, juga akan merusak air tanah yang membuat para bayi lahir tidak sempurna.
Namun, kenapa harus berakhir seperti ini?? Berakhir dalam konflik yang mematikan. Merenggut nyawa para penyuara dan penuntut keadilan dari kesewenangan penguasa dan pengusaha! Kenapa juga harus dengan tindakan represif untuk meredam emosi para sipil? Berhadapan dengan rakyat dengan menggunakan senjata adalah bukti kepengecutan institusi tersebut. Bukannya mengayomi atau melindungi rakyat, malah tunduk pada para musuh rakyat. Dibayar berapa kah kalian wahai para pengayom?? Rakyat hanya mempertahankan hak-haknya yang diserobot para kuasa tanpa melibatkan mereka!
Pikiran ku terus mengurai kejadian-kejadian tersebut. Korps katanya terlatih itu, selama ini tindakannya mencerminkan perilaku bermental ‘centeng pemodal’. Seperti berperinsip ‘Yang bayar yang akan di bela’. Rakyat berdemo adalah para serangga pengganggu yang harus dibasmi. Memang para demonstran kadang berlaku tidak seharusnya, tapi apakah harus mencabut nyawa mereka saat laku itu berlebihan? Apakah kalian harus menjadi ‘tuhan pengadil’ bagi kesalahan kecil para demonstran? Cuih.
Akupun terbangun, tersadar kembali. Bertanya dalam hati, apakah ini hanya mimpi? Semoga hanya mimpi. Pikiran ku rumit. Kesal bercampur sedih. Inilah yang selalu membuatku berfikir, Kanapa aku harus dilahirkan di negeri yang ‘indah’ ini?
# tulisan ini didedikasikan untuk para korban kerusuhan Bima, NTB tanggal 24 desember 2011. Salah satu (tak terhitung) sejarah kelam kepolisian Indonesia.
[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="sumber : http://news.okezone.com/read/2010/06/15/340/342921/massa-rusak-kantor-kpu-bima"][/caption]
[caption id="" align="aligncenter" width="360" caption="sumber : http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/12/26/lwst77-mk-aparat-belum-berubah-hadapi-rakyat-dengan-kekerasan"][/caption]
[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="sumber : http://www.metrotvnews.com/read/news/2011/12/24/76431/Polisi-Tangkap-Tiga-Provokator-Rusuh-Bima/1"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H