Mohon tunggu...
Einstain Klein Marthing
Einstain Klein Marthing Mohon Tunggu... -

Manajemen FEB UAJ 2014

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Something Happened Along The Way--Manusia Individual

6 Oktober 2014   09:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:13 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Halo para pembaca--yang dapat membaca tulisan saya namun belum tentu dapat membaca pikiran saya, pada kesempatan kali ini saya akan membagikan sedikit cerita dan pandangan saya akan perubahan sikap yang kita orang kota pada khususnya alami. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia di era modern, pada hakikatnya sebagai mahluk sosial yang butuh orang lain, dan saling berinteraksi satu dan lainnya, kini tidak lagi terlihat sebagaimana mestinya. Panjang-pendeknya cerita ini tergantung sejauh apa niat Anda mendalami cerita yang saya alami ini, dan cerita ini fakta sekaligus menjadi pelajaran tersendiri bagi saya.

Jumat, 06 Mei 2014, pukul 06:00 WIB, saya berangkat dari rumah ke arah Sudirman untuk pendaftaran masuk universitas yang lokasinya disana dengan bis Transjakarta. Berangkat lebih awal agar dapat kursi, ternyata kursi sudah penuh, alhasil harus berdiri selama perjalanan. Alih-alih untuk cegah kebosanan, saya coba untuk main handphone, tapi susah juga karena bis semakin padat. Dengan sedikit terpaksa saya hanya diam berdiri sambil melihat sekitar, kira-kira  apa ada orang yang bisa diajak untuk mengobrol.

Lihat orang yang di depan, dia sibuk dengan handphonenya. Disamping orang itu juga sibuk main dengan handphonenya. Dan sempatnya ditengah kesumpekan itu dia check-in Path. Wow, niat sekali. Beda halnya dengan pria disamping saya saat itu. Pria ini menahan kantuknya dan pada akhirnya dia tidur dengan posisi berdiri. Saya sedikit prihatin dan sempat membayangkan, mungkin setiap hari dia berangkat pagi dan pulang hampir larut malam; sampai rumah keadaan rumah yang tidak nyaman karena istrinya terus menerus ngomel, anak minta uang jajan terus; dapat perlakuan gak menyenangkan di kantor atau hal lainnya yang sama menyedihkannya.

Melihat ke sebelah kiri, seorang perempuan muda yang cukup cantik parasnya juga berdiri di tengah padatnya bis itu. Dilihat dari tampilan dan gerak-geriknya, sepertinya dia bukan orang yang sering naik bis Transjakarta. Terlihat kebingungan dan khawatir kalau-kalau kelewatan pemberhentian. Saya berusaha untuk ngobrol, tapi keliatan agak panik karena sibuknya berpikir harus turun dimana.
"Mas abis ini pemberhentian dimana ya?", tanya si perempuan ke orang yang ada di depan saya. Cukup sedih karena bukan saya orang yang ditanya itu. Karena keliatan tergesa-gesa, saya urung ajak ngobrol, khawatir nggak nyambung karena dia fokus pada pemberhentian.

Saya coba tengok ke belakang, ada sepasang kekasih yang sepertinya hendak ngantor. Mereka berbeda dengan yang lain. Sepanjang perjalanan mereka ngobrol. Mau ikut dalam pembicaraan tapi tidak tahu topik yang sedang dibicarakannya, justru terlihat aneh bukan saat ada orang asing tiba-tiba nimbrung nyambung obrolan mereka. Perempuan dari pasangan ini turun lebih dulu. Si pria siap-siap turun di pemberhentian selanjutnya. Karena semakin bosan di bis, saya basa-basi bertanya pada pria itu, "Kalo mau ke Universitas At**Ja** turun dimana ya,mas?" "Turun di Semanggi mas.", jawab mas ini dengan respon yang cukup dingin. Males juga untuk lanjutkan pembicaraan karena dapat respon begitu.

Singkat cerita setelah sampai di lokasi dan selesai urusan disana, kembali saya naik bis Transjakarta dan harus naik jembatan penyeberangan yang jauhnya luar biasa untuk kembali pulang. Kali ini saya dapat APTB lalu transfer naik bis Transjakarta arah Priok dari UKI. Dan puji Tuhan, beruntung saya dapat kursi di kedua bis itu. Dalam perjalanan saya memainkan handphone, seperti yang lain, padahal sudah bosan juga main handphone, baik di rumah atau di luar rumah. Di bis arah Priok saya baca koran yang dibeli sebelum naik bis. Duduk disebelah saya, seorang pria yang sudah cukup tua, kira-kira seusia ayah saya, yang usianya sudah kepala-7, hanya duduk diam dan sesekali curi pandang ke koran yang saya baca. Mungkin beliau ingin tau apa yang sedang saya baca saat itu atau mungkin juga ingin ngobrol. Tapi karena ragu akan respon dingin yang mungkin akan saya terima dari pria tua ini sama seperti sebelumnya, saya lanjut baca koran.

Setelah beliau turun di pemberhentian sebelum saya turun, sejujurnya saya cukup merasa kecewa karena tidak bisa pakai kesempatan itu untuk ngobrol bersama beliau. Mungkin saja beliau adalah seorang yang punya kisah hebat, misal veteran tentara yang pastinya punya cerita-cerita perjuangan kemerdekaan Indonesia, seperti ayah saya yang punya kisah-kisah hebat selama aktif membela negara, atau siapa pun beliau yang punya cerita dan pengalaman inspiratif yang bisa saya, sebagai anak muda yang belum berpengalaman ini, untuk jadikan pelajaran hidup.

Dari sana saya sadar dan belajar, bahwa kodrat manusia sebagai mahluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi mulai bergeser karena adanya perubahan nilai-nila yang ada di tengah masyarakat modern, seperti Jakarta ini. Sikap individualis masyarakat kota menggeser nilai nilai kemasyarakatan yang ramah bersahaja, saling memahami dan tidak saling acuh. Kita terlihat lebih sibuk dengan diri sendiri, sibuk dengan masalah kita sendiri, tanpa kita sadari mungkin saja orang disekeliling kita adalah solusi dari masalah yang yang sedang kita hadapi. Tapi pada kenyataannya, masyarakat modern seperti kita ini justru cenderung menutup diri, yang juga menutup kemungkinan untuk dapat pelajaran baru dari orang lain yang ada disekeliling kita.

Hal yang saya khawatirkan mulai terjadi, dimana manusia merasa hidup sendirian di dunia ini, tanpa menyadari ada orang-orang di sekelilingnya. Mungkin bisa kita lihat, gadget sepertinya seakan sudah menggeser posisi manusia dengan sesamanya. IT adalah salah satu indikator yang saya coba kaitkan pada perubahan nilai-nilai ditengah masyarakat kota saat ini. Sempat saya menonton salah satu film yang dirilis tahun 2013, yang berjudul Her. Andabisa baca sinopsisnya atau langsung menonton filmnya. Film itu mengisahkan seorang pria, yang mengalami masalah rumah tangga dan sedang dalam proses perceraian, jatuh cinta kepada operating system yang memiliki kepribadian seperti manusia, seakan-akan teknologi itu hidup sebagai seorang pribadi dan menjalin cinta bersama si pria ini. Secara kesimpulan, film itu menunjukkan kepada penonton bahwa teknologi semakin maju, dan tanpa disadari teknologi juga telah menggeser posisi manusia di tengah kehidupan bermasyarakat.

Bagi saya itu adalah sikap dan perasaan yang sungguh menyiksa. Itu juga yang jadi alasan saya belajar untuk tidak kecanduan pada gadget dan hal lain yang mengikat saya untuk punya gaya hidup individual. Jujur, saya butuh orang lain, begitu juga Anda ,bukan? Jadi, bagi setiap kita yang masih diberi kesadaran akan hal ini, mari buka hati dan pikiran kita akan perubahan-perubahan yang ada di tengah-tengah kehidupan kita. Jangan sampai perubahan itu jadi suatu perubahan yang bawa kita pada kemunduran dan bencana bagi kita sebagai umat manusia. Peka terhadap perubahan dan hal-hal baru, serta kritis dalam menyikapinya!
Terima kasih telah membacanya, kiranya dapat menginspirasi pembaca sekalian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun