MELANCONG
Nama saya Eines Zulfa, biasa deipanggil dengan “Eines”. Dari kecil sampai aku lulus SD aku bersekolah di dekat rumah. Semenjak lulus dari sekolah dasar orangtuaku berencana menyekolahkanku di luar kota. Aku tak pernah tau dimana letak sekolah SMP ku, aku hanya mengiyakan apa kata orangtuaku. Waktu pendaftaranpun aku tak pernah turut serta. Karna aku merasa pasrah dengan semua pilihan orangtuaku. Aku menuruti semua perkataan mereka. Karna aku merasa sekolah jauh dari rumah dan orangtua itu suatu pengalaman yang menarik.
Sampai akhirnya tiba, aku dan keluarga besarku pergi ke kota yang lumayan jauh dari kota asalku. Malam itu, aku hanya duduk diam di mobil bagian belakang dengan memandangi sekeliling mobil sambil menikmati indahnya perjalanan di malam hari. Saat pagi kami sudah tiba di kota tujuan, semua bergegas turun dan melihat-lihat sekitar tempat. Aku, dengan wajah polosku hanya bisa mengikuti setiap perintah orangtuaku.
Ketika semua urusan resgistrasi dan yang lainnya sudah selesai, orangtuaku mengajak makan bersama dan bersantai sebentar di sebuah gazebo. Tak lama kemudian satu-persatu antara mereka mengucapkan selamat tinggal dan memberi pesan kepadaku. Aku hanya tertunduk lemas, bahkan mereka meneteskan air mata. Tapi tidak denganku, aku hanya diam dan tak tau harus ikut menangis atau bagaimana. Kemudian mereka bergegas pulang ke kota asal.
Hari pertama aku tinggal di asrama, aku merasa enjoy, mungkin lebih tepatnya meng-enjoy-kan diri. Sebenarnya aku takut dengan keadaan sekitar. aku tak kenal siapapun. Aku hanya diam untuk beberapa waktu dan mengamati tempat sekitar. Waktu demi waktu aku lalui. Aku berkenalan dengan banyak teman, berbagai macam asal mereka, hampir di seluruh Indonesia ada.
Sudah hampir seminggu aku disana, aku sudah mengenal banyak orang. Suatu hari aku diajak temanku ke sebuah tempat yang dinamakan wartel. Dia menelpon kedua orangtuanya dan aku hanya menunggunya di depan pintu. Sudah hampir setengah jam dia tidak keluar-keluar. Aku merasa bosan menunggunya. Dan disebelah tempat telpon dia ada yang kosong, dan aku berpikir untuk telpon ke rumah juga. Setelah lama menunggu respon orang rumah, kakekku yang mengangkat telpon. Aku tak bisa bicara apapun, speechless. Tak terasa air mataku bercucuran tak tertahankan. Ternyata aku merindukan mereka yang tak pernah aku rasakan.
#edisi khusus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H