Mohon tunggu...
Eines Zulfa
Eines Zulfa Mohon Tunggu... -

be strong :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen

9 Desember 2014   02:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:45 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Surat Terakhirmu

Jakarta,2014

Tok Tok Tok ..

Prang ! sebuah gelas terjatuh dari genggaman adam, dengan terkejutsegera ia memunguti pecahan gelas tersebut kemudian membukakan pintu. “selamat siang pak, saya dari kantor pos. benar ini kediaman bapak adam?”. Tanya petugas kantor pos. “iya, saya sendiri”. Jawab adam sedikit heran, jarang sekali ia mendapat kiriman pos langsung kerumahnya, biasanya kiriman akan beralamat di kantornya di bilangan Jakarta pusat. Petugas tersebut mengeluarkan sebuah amplop cokelat berukuran sedang dan menyodorkan kertas sebagai tanda terima. Setelah petugas tersebut pergi, adam membuka amplop dan duduk diruang tamunya. Jantungnya tiba-tiba berdebar dan mengeluarkan keringat dingin. Amplop terbuka, sebuah lembar foto usang terlihat seorang anak tertawa bahagia bermain layang-layang dan disampingnya seorang baya tersenyum ikut bermain. Adam meneguk ludah, ini foto usang 15 tahun silam ketika keluarganya berlibur di pantai. Sebelum adik-adiknya lahir, ia mengeluarkan lagi sebuah kertas, tulisan ayahnya sendiri. Adam menghapus keringat yang mengalir di keningnya, jantungnya kembali berdetak, perlahan ia buka surat tersebut.

Assalamu’alaikum, nak. Apa kabar?. Kau tak memberi kabar pada kami nak, berapa tahun? Satu? Dua? Oh kau tak memberi kabar selama 10 tahun nak, ibumu merindukanmu.menayakan dimana anak yang ditimangnya dulu. Ayah pun merindukanmu nak, sangat. Ayah tau kau selalu menghiasi televisi, menjadi orang penting di ibukota sana. Ayah bangga nak padamu. Ibumu selalu menangis melihat kau kini tumbuh menjadi pemuda gagah yang berbakat. Ayah pun menangis diam ketika kau masuk dalam Koran-koran kota. Ayah sungguh bangga padamu, ayah hanya dapat memendam. Nak,diibaratkan seperti rumah Ayah seperti atap yang mengayomi dan melindungi,Ibu adalah pintu tempat segala sesuatu itu datang dan pergi dan dimana anak-anak adalah sebagai tiang penyanggah rumah yang semakin kuat dan kokoh mengikuti sang atap dan pintu. Maafkan ayah bila selama ini mungkin ayah menjadi atap yang rusak. Menjadi atap yang bocor. Maafkan ayah nak, sungguh. Nak, kamu adalah penyangga kami, kamu adalah tiang terkuat dari keluarga ini. Teruslah belajar nak sampai kau menjadi penyangga dari setiap insan kehidupan. Teruslah berjuang nak menghadapi dunia fana’ ini. Jagalah ibumu dan adik-adikmu, pulanglah nak. Ayah percaya kau akan menjadi penyangga terkokoh . Teruslah berbuat baik , jangan memandang rendah semua orang, ingatlah bahwa kau dulu adalah orang yang rendah. Maafkan ayah hanya mengantarkanmu sampai disini namun percayalah bahwa disini pun ayah akan selalu berdoa untukmu. Pegang setiap kepercayaanmu , ingatlah kau punya tuhan tempat kau mengadu dalam setiap kesusahan. Janganlah kau sombong, apa yang dapat kau sombongkan dari dunia yang sementara ini. Kehidupan ini kejam nak, ayah pernah terhempas setelah berada diatas. Kau harus berdiri tegak, jangan berdiri menginjak !. maafkan ayah nak atas apa yang terjadi dulu, sungguh ayah hanya ingin menjadikan kau orang-orang terbaik. Tetapi mungkin cara ayah berbeda dengan caramu sehingga membuatmu terluka, ayah sungguh menyesal. Ayah mencarimu subuh itu, memutari kota setiap hari.

Ibumu selalu menangis ketika sore hari ayah pulang tanpamu. Yah sudahlah itu berlalu, maafkan ayah belum menjadi atap yang melindungimu, Maafkan ayah, pulanglah ibumu merindukanmu, juga adik adikmu. Mereka membutuhkanmu nak. Ayah juga merindukanmu. Ayah menunggumu pulang nak, selalu, kapanpun. Ayah ingin melihat senyummu lagi seperti yang di foto tersebut. Terima kasih ayah ucapkan apabiala kau sempatkan waktu untuk membaca surat dari ayah. Ayah menunggu kedatanganmu. Wassalamu’alaikum .”

Salam,

Ayahmu

Adam kembali menghapus keringatnya, jantungnya masih berdebar. Segera ia berdiri dan menuju kamarnya. Menyambar tas ransel dan memasukkan beberapa baju kaos dan dompet, mengendarai sendiri mobilnya menuju kota asalnya Jogjakarta. Selama perjalanan adam hanya berdoa meminta ketenangan hatinya. Melupakan konflik yang terjadi beberapa tahun silam, ketika ia menjadi anak SMA yang mencari jati diri, yang tiba-tiba menjadi pemarah ketika dinasehati. Ia sadar bahwa dulu ia salah pergaulan, membuatnya lari dari rumah ketika ayahnya memergokinya sedang minum miras dengan genk yang dia anggap keren. Ayahnya menampar adam didepan teman-temannya membuat harga diri adam runtuh, begitu katanya. Malam hari ketika semuanya terlelap adam pergi dari rumah meninggalkan keluarganya. Berjuang sendiri di ibukota menjadi buruh kasar, cleaning servis, officeboy hingga diangkat menjadi asisten pribadi oleh bosnya. Sampai saat ini menjadi salah satu pengusaha muda tersukses. Terkadang ia rindu pada keluarganya namun karena gengsi ia enggan mengakui. Namun surat ayahnya dating menyadarkan bahwa ia masih punya keluarga. Adam menghapus sedikit air matanya yg turun, jam menunjukkan pukul 5 sore. Ia sudah memasuki gapura kota Jogjakarta, segera ia mempercepat laju mobilnya.

Sesampai di rumahnya , adam keluar dari mobil dan berlari kerumahnya. “assalamu’alaikum, ayah, ibu.” . rumahnya sepi, seingatnya sore begini ayah akan memandikan burung peliharaannya. Adam masuk rumah, meletakkan tasnya di kursi ruang tamu. Memeriksa kedalam dan kembali keluar karena tak menemukan seorang pun didalam. Ia menunggu di depan teras, mungkin orang-orang dirumahnya sedang keluar piker adam. Ia menikmati hawa pedesaan yang ia rindukan hingga tertidur. “Adam, adam .” ia terbangun karena ada yang memangil namanya dan menepuk pelan pipinya. “Ibuu”pekik adam memeluk ibunya. Keduanya menangis menumpahkan rindu di bahu tua ibunya.

“ayah dimana bu?”. Tanya adam, memeluk adiknya. Wajah ibunya semula bahagia, menjadi sendu. “masuklah dulu nak, kau sudah menerima surat dari ayah?.” Tanya ibunya memegang tangan adam, perasaan tidak enak kembali menjalar.adam mengangguk, “ayah bu, adam kangen. Ayah bilang menunggu adam pulang, sekarang adam pulang bu.” Desak adam pada ibunya yang seperti menyembunyikan sesuatu. “ikut ibu nak, ” ibu berdiri berjalan keluar rumah menuju langgar kecil, adam mengikuti sambil bertanya dalam hatinya ada apa ini sebenarnya. Ibunya mengajaknya kearah pemakaman umum, badannya gemetar mendadak, firasatnya tidak enak. Ibu menunjukkan pemakaman yang masih basah, adam berlutut air matanya turun.”seminggu sudah ayahmu meninggal, nak. Surat yang dikirimkan padamu itu sudah ditulis sejak ayahmu sakit. Ia berfirasat tidak akan lama lagi dan berpesan untuk mengirimkannya padamu setelah tujuh hari. Saat sakit ayahmu selalu menyebut namamu nak. Ia begitu menyesal. Pakdemu meminta untuk menjemputmu, tetapi ayahmu takut kamu tidak memaafkan dia, dam. Ayahmu takut ia akan semakin sakit saat berita buruk hanya dibawa pakdemu. Jadi ayahmu hanya memendam nak. ” cerita ibunya dengan sedih, adam memeluk batu nisan itu menyesali perbuatannya. Setelah berdoa untuk ayahnya adam dan ibunya kembali kerumah. Menghapus sisa air matanya setiap penyesalan yang ada. Akibat gengsinya untuk meminta maaf, inilah balasan adam. Tidak sempat melihat wajah terakhir ayahnya. Maafkan adam yah, maafkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun