Mohon tunggu...
eidelabdul
eidelabdul Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa sejarah peradaban Islam

Terkadang tidur, terkadang terbangun.

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Snouck Hurgronje : Dinamika Tradisionalisme dan Modernisme pada tahun 1930an

22 Desember 2024   15:20 Diperbarui: 22 Desember 2024   15:18 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) adalah seorang orientalis dan ahli islam asal Belanda yang sangat mempunyai pengaruh besar terhadap kebijakan kolonial Belanda terutama terhadap masyarakat muslim di Indonesia pada saat itu. Berarti pada dasarnya Snouck Hurgronje ini adalah orang yang berpura-pura beragama islam untuk mengetahui tentang dunia islam seperti halnya ketika ia di Mekkah yang dimana dia berpura-pura memeluk islam untuk mendapatkan akses lebih kedalam komunitas muslim dan budaya muslim.

Sehingga tindakan berpura-pura ini sebenarnya Snouck tidak semata-mata hanya didasarkan pada keyakinan, melainkan demi kepentingan ilmiah dan kolonial. Untuk kemudian mengapa halnya Snouck Hurgronje ini mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat muslim di Indonesia ini, dikarenakan dia seorang penasihat pemerintah kolonial Belanda mengenai kebijakan untuk urusan Islam di Indonesia. Sehingga dia mempelajari bagaimana adat istiadat bahkan struktur sosialnya terutama kepada masyarakat islam di Aceh. Untuk kemudian Snouck menganjurkan kebijakan untuk membedakan antara islam sebagai agama, dan islam sebagai kekuatan politik.

Dalam pendekatannya terutama terhadap umat muslim di Indonesia, Snouck Hurgronje telah mengidentifikasi bahwa Islam di indonesia memiliki dua dimensi pemikiran yakni Tradisionalisme dan Modernisme. Snouck berpandangan bahwa Tradisionalisme ialah islam yang berakulturasi dengan adat lokal, dan menjadikan ulama terdahulu sebagai pedoman, pun lembaga pesantren pula seringkali menjadi salah satu perkumpulan para Tradisionalis. Sedangkan Modernisme dia beranggapan bahwa islam ini biasanya dipengaruhi oleh kaum reformis dan pembaharuan.

Maka dengan ini Snouck seringkali mendorong terhadap kaum tradisionalis sebagai kekuatan sosial terhadap pemerintah kolonial karena cenderung mudah untuk diawasi dan tidak muncul dalam organisasi secara poitik. Namun berbeda halnya dengan kaum Modernis yang tidak tingal diam dan seringkali menuntut kemerdekaan kepada kolonial, sehingga Snouck seringkali menentang terhadap islam Modernisme ini.

Dalam seiring banyaknya perbedaan dari dua gagasan pemikiran ini, pada tahun 1930-an seringkali muncul perdebatan ketika diadakannya pertemuan keagamaan bahkan ketika adanya forum diskusi. Namun ternyata perdebatan ini tidak hanya berakhir dalam sebuah ucapan saja, melainkan dalam penulisan seperti artikel ataupun karya tulis yang sering menjadi alat dan bahan perdebatan. Seperti kaum Modernis ini mengkritik praktik Bid’ah terhadap praktik dari agama islam lokal dan begitupun sebaliknya Tradisionalis tetap membela tradisi islam lokal dan ulama terdahulunya.

Namun perdebatan yang dimaksud pada tahun 1930-an disini ialah ketika kaum Modernis ini yang dipengaruhi kaum reformis dan nasionalis seringkali aktif terutama dalam organisasi-organisasi yang memperjuangkan semangat untuk meraih kemerdekaan. Salah satu bentuk referensi dari gerakan ini adalah dengan dipengaruhi pengaruh eksternal yang dimana Reformasi Turki dibawah Mustafa Kemal (1923) yang menghapus kekhalifahan dan gerakan pembaharuan modernis di mesir. Akan tetapi Kaum Tradisionalis menolak terkait dengan perubahan Radikal seperti itu.

Maka Snouck Hurgronje sangat memanfaatkan situasi seperti ini, yang dimana pemerintah kolonial menetapkan warisan kebijakan dari Snouck ini untuk melemahkan persatuan umat islam di Indonesia. Dan seringkali kolonial ikut mendorong dalam perasingan antara Tradisionalisme dan Modernisme. Dan pada akhirnya persaingan ini dapat megalihkan isu dari perjuangan melawan kolonial.

Ternyata situasi seperti ini menciptakan peluang dari berbagai organisasi besar islam untuk lebih bersatu dalam melawan penjajahan kolonial. Maka dari itu, pada tahun 1937 MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dibentuk yakni untuk menyatukan umat islam yang bisa disebut sedang terpecah belah. Dalam MIAI ini seringkali diadakannya forum diskusi untuk menengahi dan menjembatani dari perdebatan perbedaan. Tidak hanya untuk itu, pun wadah organisasi ini pula untuk menyatukan seluruh umat islam dalam meyuarakan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah kolonial sehingga berfokus dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Maka dari itu, umat islam bersatu dalam organisasi MIAI dan menghilangkan perdebatan-perdebatan yang terjadi dan menjauhkan perpecahan antar umat islam. Sehingga pengaruh dari kebijakan Snouck Hurgronje ini sedikit demi sedikit dapat dihilangkan sekitaran tahun 1930-an.

Persatuan seperti ini sepatutnya tidak hanya untuk pada masa itu. Semoga dengan sejarah dinamika antara Tradisionalisme dan Modernisme ini dapat menjadi cambukan terhadap periode modern seperti sekarang. Perdebatan seperti itu, seharusnya sudah menjadi hal kuno untuk dimasa sekarang. Karena sudah banyak gagasan-gagasan yang dapat menengahi dari dua pemikiran yang berbeda seperti ini di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun