Mohon tunggu...
Didin Rohaedin
Didin Rohaedin Mohon Tunggu... Swasta -

Pengangguran Papan Atas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ssst… Ini Ramuan Khusus 20 Tahun Kebawah!

10 Maret 2016   07:48 Diperbarui: 10 Maret 2016   07:55 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lima belas tahun yang lalu, pada saat acara pembagian raport di pesantren, salah seorang wali santri bertanya kepada guru kami, Ustadz Ali Abbad. Wali santri itu ialah Ir. H. Fadhloellah Moenawwar, anak sulung KH. Moenawwar Chalil, penulis buku Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW. Adapun yang ditanyakannya itu adalah sebuah pepatah berbahasa Arab yang samar-samar ia ingat namun lupa redaksi lengkapnya. Ustadz Ali Abbad lalu menuliskan pepatah itu pada secarik kertas dan memberikannya kepada beliau.


Pepatah itulah yang kemudian disampaikan Ir. H. Fadhloellah Moenawwar saat beliau memberi kata sambutan di hadapan kami. Dari mulut beliaulah untuk pertama kalinya saya mendengar pepatah tersebut dan alhamdulillah masih terekam kuat di ingatan sampai hari ini. Pepatah itu berbunyi: Laisal Fataa Man Yaqulu Kaana Abi, Walaakinnal Fataa Man Yaquulu Haa Ana Dza. Pemuda sejati itu bukanlah pemuda yang mengatakan “itu ayahku” (membangga-banggakan kebesaran nama ayahnya). Pemuda sejati itu adalah dia yang mengatakan “inilah aku” (bisa menunjukkan hasil karya sendiri). Nah, yang sedikit ingin saya ceritakan dengan latar seperti itu adalah kata Fataa pada pepatah tersebut.


Fataa seringkali diterjemahkan “pemuda”. Sebuah terjemah yang kurang tepat, menurut Ustadz Budi Ashari, inspirator terbesar tulisan ini. Fataa sesungguhnya adalah rentang usia yang berada di bawah fase Syabab. Jika Syabab kita terjemahkan pemuda, maka Fataa, dalam konteks kekenian ialah mereka yang sering kita labeli dengan istilah “remaja”, sebuah rentang usia antara 12 sampai 22 tahun atau tahap-tahap awal dari fase pemuda. Hanya saja, kata remaja hari ini memiliki konotasi negatif di kepala kita sebagai masa berhura-hura, berleha-leha, pembangkang, tawuran antar sekolah, full musik, rock and roll, percintaan, gaya-gayaan, alay-alayan, dan kesan-kesan negatif lainnya. Perspektif seperti ini 180 derajat bertentangan dengan sudut pandang Al-Qur'an ketika berbicara tentang remaja/Fataa yang hampir seluruhnya disebutkan dalam konteks pujian.


Kita tahu kisah Ashabul Kahfi yang diabadikan dalam Al-Qur'an. Kisah tentang sekelompok pemuda yang teguh menjaga kemurnian aqidah tauhidnya sampai rela harus bersembunyi di dalam gua. Kalau kita lihat, ternyata Al-Qur'an menceritakan bahwa usia mereka saat itu adalah usia Fataa:

إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
(Ingatlah) tatkala FITYAH itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)". (QS. Al-Kahfi: 10).


“Fityah” itu adalah bentuk plural dari kata “Fataa”. Santri di Pesantren menyebutnya Jama’ Taksir. Jadi, yang diceritakan oleh Al-Qur'an tentang Ashabul Kahfi itu adalah mereka yang masih berusia Fataa/remaja tapi dengan sangat teguh menjaga keimanannya, tak mau terbawa-bawa dengan rusaknya aqidah dan akhlak orang-orang di sekitarnya. Di sini Fataa dipuji Al-Qur'an.
Kita juga tahu kisah heroik Nabi Ibrahim AS yang menghancurkan patung-patung berhala sebagai bentuk perlawanan menentang kemusyrikan. Ada yang tahu berapa umur Nabi Ibrahim saat itu? Ya, saat itu beliau adalah seorang Fataa, remaja yang masih muda belia. Lihatlah bagaimana Al-Qur'an menuturkan kecurigaan orang-orang musyrik kepada Nabi Ibrahim ketika melihat mereka berhala-berhala yang berserakan itu:


قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ
Mereka berkata: "Kami dengar ada seorang FATAA yang mencela berhala-berhala ini, namanya Ibrahim". (QS. Al-Anbiya: 60).


 Sebetulnya masih banyak lagi ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an yang mengisahkan orang-orang terdahulu yang telah mengukir prestasi gilang gemilang dalam usia yang masih Fataa ini. Misalnya, Nabi Yusuf AS yang berhasil menjaga kehormatan dirinya saat dirayu berzina oleh istri Al-Ajiz (QS. Yusuf: 30) atau kisah Daud muda yang mengalahkan Jalut dan tentu saja kisah Musa yang amanah bekerja di bawah pengawasan Nabi Syuaib AS. Semuanya terjadi dalam rentang usia Fataa.


Namun, yang paling menarik adalah apa yang disampaikan oleh Imam Ibnu Katsir ketika menutup tafsirnya tentang kisah Ashabul Kahfi itu, beliau mengatakan: “Oleh karena itu, kebanyakan orang yang menyambut dakwah Rasulullah Saw adalah mereka yang berasal dari kalangan pemuda. Sedangkan para orang tua dari kaum Quraisy, kebanyakan masih memegang agama mereka, tidak memeluk Islam kecuali sedikit saja. Demikianlah Allah mengabarkan, bahwa mereka itu adalah para pemuda”.


Pernyataan ini menjadi menarik karena disampaikan oleh Imam Ibnu Katsir yang bukan hanya ahli tafsir tapi juga seorang sejarawan muslim papan atas. Ingat karya beliau Al-Bidayah wa An-Nihayah sebuah literatur sejarah yang tebalnya berjilid-jilid. Dengan kapasitas intelektual tersebut beliau menyatakan bahwa mayoritas pengikut dakwah Rasulullah Saw adalah para pemuda. Betulkah? Tentu saja betul.


Kita ambil satu contoh. Dari jajaran As-Sabiqunal Awwalun (generasi pertama penyambut dakwah Rasul) ada sepuluh orang di antara mereka yang mendapat jaminan surga, yaitu: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqqash, Said bin Zaid, dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. (Lihat Sunan At-Tirmizi Nomor hadis 3747). Dari kesepuluh orang tersebut saya mendapatkan empat data sebagai berikut:


Pertama, tidak ada seorang pun dari mereka yang usianya melebihi usia Nabi;
Kedua, hanya tiga orang saja di antara mereka yang masuk Islam ketika usianya berkepala tiga, yaitu: Abu Bakar (37 Th), Usman bin Affan (34 Th) dan Abdurrahman bin Auf (30 Th);
Ketiga, dua orang dari mereka, masuk Islam ketika berusia 27 tahun, yaitu: Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.
Keempat, sementara 5 orang sisanya, subhanallah, masuk Islam saat usianya masih di bawah 20 tahun, yaitu: Saad bin Abi Waqqash (17 Th), Zubair bin Awwam (16 Th), Said bin Zaid (15 Th), Thalhah bin Ubaidillah (14 Th), dan Ali bin Abi Thalib (10 Th).


Di pundak para pemuda inilah tonggak pertama sejarah peradaban Islam ditegakkan. Peradaban gilang gemilang yang kemudian menyinari hampir tiga perempat muka bumi, selama berabad-abad. Merekalah generasi muda, bahkan yang kita sebut remaja, yang telah menjadi pionir dakwah Islam sehingga bisa mengepakkan sayapnya menembus laut mediterania, menelusuri gurun pasir Afrika, merambah hutan-hutan Asia dan melahirkan generasi-generasi emas seperti Usamah bin Zaid yang menjadi panglima perang melawan ribuan pasukan Romawi (bukan tawuran antar kampung) pada usia 18 tahun, Imam Syafii yang sudah hafal Alquran sejak usia 7 tahun dan mulai memberi fatwa saat berusia 15 tahun, Ibnu Sina yang hafal Al-Qur'an usia 5 tahun dan mulai menjabat sebagai dokter khusus istana pada usia 17 tahun, Umar bin Abdul Aziz yang menjadi gubernur Madinah saat usia 23 tahun dan Muhammad Al-Fatih yang menaklukkan benteng legendaris Konstantinopel pada usia 24 tahun.

Nah… sekarang, berapa usiamu? Apa karyamu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun