Tulisan ini hanya akan sebagai referensi dalam menginisiasi Kawasan konservasi selanjutanya, tanpa ada maksud untuk menyinggung pihak yang tercantum. penulis sedang melakukan rekayasa social, kajian dan hal lain dalam mencari skema terbaik pengelolaan berkelanjutan berbasis masyarakat adat, khususnya Hutan primer dan mangrove.
Pemerintah Kabupaten Kampar melalui Dinas Kehutanan telah membentuk tim pengelola Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) sesuai dengan sosialisasi Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 640 tahun 2011. Sebagaimana informasi ada tujuh desa yang termasuk dalam KPHP Model Kampar Kiri Kabupaten Kampar.Â
Desa-desa tersebut diantaranya adalah desa Tanjung Karang, Deras Setanjak, Muara Selaya, Sungai Sarik, Lubuk Agung, Sei Raja dan Tanjung Mas. Permasalahan yang terjadi di setiap desa hampir sama, yaitu tidak tahunya masyarakat tentang KPHP Model Kampar Kiri. Setiap desa juga tidak memiliki peta desa yang disahkan oleh pemerintah kabupaten maupun propinsi.
Masyarakat merasa dimarginalkan. Ditambah lagi masyarakat hidup di daerah terpencil yang hidup berdampingan di sekitar hutan tersebut. Tokoh masyarakat yang jumpai menyatakan, sejauh ini belum ada sosialisasi yang dilakukan pihak pemerintah terkait mengenai SK mentri nomor 640 tahun 2011 tersebut. Berdasarkan hal tersebut, Maizaldi (Fasilitator) turut andil dalam menyampaikan informasi tentang hak-hak masyarakat mengenai pengelolaan kawasan yang berbasiskan kearifan lokal agar masyarakat memahami batasan-batasan hak mereka dalam mengelola kawasan yang ada disekitarnya.
Kondisi Objektif Desa
- Desa Tanjung Karang
Desa Tanjung Karang terletak di Kecamatan Kampar Kiri Hulu yang terbagi dalam empat dusun yaitu dusun I, II, III dan IV. Terdapat 143 Kepala Keluarga (KK) yang terdiri dari 567 jiwa di Desa Tanjung Karang. Kawasan hutanya masih cukup luas, diperkirakan lebih dari 2000 Ha. Hutan alam belum dijadikan lahan perkebunan oleh masyarakat. Mayoritas mata pencarian masyarakat berkebun karet.
- Desa Deras
Desa Deras Setanjak berasal dari Kekalifahan Ludai yang dimekarkan pada tahun 2005. Desa Deras Setanjak terbagi dalam empat dusun yaitu Benang Sakti, Sungai Salak, Tunas Muda dan Lubuk Manggis. Pada desa ini terdapat 70 KK yang terdiri dari 350 jiwa. Mayoritas mata pencarian penduduknya berkebun karet.
- Desa Muara Selaya
Desa Muara Selaya terbagi dalam empat dusun yaitu Dusun Simpang Empat, Tiga Muara, Tunas Harapan dan Tungkal Jaya. Luas wilayah Desa Muara Selaya keseluruhannya adalah 8000 Ha dengan dilintasi oleh Sungai Batang Kota dan Sungai Kapur yang merupakan sumber air minum bagi masyarakat tempatan. Pada desa ini terdapat 160 KK yang terdiri dari 200 jiwa.
- Desa Sungai Sarik
Desa Sungai Sarik merupakan pecahan dari kekalifahan VIII Koto Setingkai yang mekar pada tahun 2002. Saat ini Desa Sungai Sarik terdiri dari 222 KK dengan jumlah penduduk 900 jiwa. Mayoritas mata pencarian masyarakat berkebun karet dan minoritas mulai mencoba menanam kelapa sawit. Desa Sungai Sarik memiliki luas wilayah sekitar 15.000 Ha.
Desa Lubuk Agung merupakan desa tua yang berasal dari kekalifahan VIII Koto Setingkai. Desa Lubuk Agung terdiri dari 350 KK dengan jumlah penduduk lebih kurang 1300 jiwa. Mata pencarian penduduknya mayoritas berkebun karet.
- Desa Tanjung Mas
Desa Tanjung Mas memilki luas sekitar 4000 Ha, terdiri dari Empat dusun dengan jumlah KK 244 terdiri dari 788 jiwa. Sebagian besar mata pencariannya berkebun karet, ada juga yang sudah mencoba membuka kebun kelapa sawit. Desa Tanjung Mas tidak lagi memiliki kawasan hutan yang luas. Hal ini disebabkan oleh masuknya perusahan PT PSPI ke desa tersebut, namun dengan begitu desa tidak pernah mendapat bantuan dari pihak perusahan.
- Desa Sungai Raja
Desa Sungai Raja merupakan salah satu desa yang sudah diolah kawasannya oleh perusahan sebagai Kawasan Hutan Tanam Industri (HTI). Saat ini terdapat 1000 Ha lahan perkebunan Akasia PT Tri Tanah di Desa tersebut. Desa Sungai Raja memiliki luas sekitar 25 Km2 dengan jumlah KK 165 dan terdapat 665 jiwa dengan mata pencarian berkebun karet. Desa Sungai Raja terdiri dari empat dusun yaitu dusun Parit Indah, Simpang Menanti, Bunga Tanjung dan Mekar Indah.
Struktur Kerapatan Adat
- Dasa Tanjung Karang
Dasa Tanjung Karang terdiri dari empat suku. Setiap sukunya dipimpin oleh satu ninik mamak yang merupakan pucuk pimpinan dan pengambil keputusan. Suku Piliang Bukik Ninik mamaknya adalah Datuk Bijo, Suku Piliang baruah Ninik mamaknya adalah Datuk Temenggung, Suku Melayu ninik mamaknya adalah Datuk Sindo Mangkuto dan Suku patopang ninik mamaknya adalah Datuk Laksamano.
- Suku Desa Deras Setanjak
Suku Desa Deras Setanjak terdiri dari Empat suku. Suku Patopang ninik mamaknya adalah datuk Sutan Rajo Lelo, Suku Malayu ninik mamaknya adalah Datuk Bijo Laksamano, Suku Piliang Bukik ninik mamaknya adalah Datuk Rajo Sinaro dan Suku Piliang Bawah ninik mamaknya adalah Datuk Temanggung.
- Desa Sungai Sarik
Desa Sungai Sarik memiliki empat suku. Uniknya gaya struktur pemangku adat di Desa Sungai Sarik adalah kepala desa sekaligus sekretaris desanya merangkap jabatan sebagai pucuk pimpinan ninik mamak. Suku Piliang Bukik ninik mamaknya dipegang oleh Datuk Samaddirajo, Suku Piliang Bawah ninik mamaknya dipegang oleh datuk Mengkato Sinaro (Sekretaris Desa), Suku Patopang ninik mamaknya dipegang oleh Datuk Paduko Majo dan Suku Melayu ninik mamaknya dipegang oleh Datuk Sinaro. Untuk pucuk pimpinan ninik mamak dari ke empat suku tersebut adalah Datuk Bendaro berasal dari suku Patopang yang juga merupakan Kepala Desa Sungai Sarik.
Struktur adat dan suku Ninik Mamak Desa Lubuk Agung, tidak jauh berbeda dengan desa sekitarnya. Suku Patopang ninik mamaknya adalah datuk Sutan Rajo Lelo, Suku Melayu ninik mamaknya adalah Sutan Bandaro Mudo, Suku Caniago ninik mamaknya adalah Datuk Parmato Sindo, Suku Piliang ninik mamaknya adalah Datuk Penghulu Besar dan Suku Piliang Bukik ninik mamaknya adalah Sinaro Kayo. Pucuk pimpinan dari keseluruhan suku ninik mamak dipegang oleh Datuk Laksamano yang berasal dari Suku Patopang.
- Desa Sungai Raja
Desa Sungai Raja terdiri dari lima suku yang terdiri dari suku Patopang, Melayu I, Melayu II, Piliang Bawah dan Piliang Bukik. Suku Patopang ninik mamaknya adalah Datuk Majo Lelo, Suku Melayu I ninik mamaknya adalah Datuk Permato, Suku Melayu II ninik mamaknya adalah Datuk Permato, Suku Piliang Bawah ninik mamaknya adalah Datuk Temenggung dan Suku Piliang Bukik ninik mamaknya adalah Datuk Gindo.
Gambaran Sistem Pengolahan Hutan Produksi
Kawasan perhutanan Desa Sungai Sarik saat ini yang belum dikelola sekitar 10.000 Ha. Berdasarkan informasi Sekretaris Desa Sungai Sarik (M. Yani), kawasan tersebut rencananya akan dibuka lahan perkebunan desa, akan dibagikan kepada masyarakat secara merata. Pada tahun 2011 lalu Desa Sungai Sarik pernah digemparkan konflik masyarakat dengan perusahan PSPI Â mengenai perebutan lahan, yang mana pihak perusahan akan mengkonversi lahan di Desa Sungai Sarik menjadi HTI namun berkat kerja keras masyarakat setempat, Pihak perusahan berhasil di halau keluar dari kawasan Desa.
Kawasan Desa Lubuk Agung juga dikelola aturan adat. Pembagian disetujui melaui mufakat adat. Seiring berjalannya waktu banyak permasalahan yang terjadi. Kawasan rimbun tersebut merupakan sasaran Perusahan (PSPI). Hal tersebut ditentang oleh masyarakat sehingga menimbulkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Permasalahan ini memanas sejak tahun 2007 hingga tahun 2010 dan belum ada titik terang hingga saat ini.
Pengelolaan lahan di Desa Tanjung Karang ditetapkan berdasarkan keturunan suku, setiap suku sudah mendapat bagian lahannya masing-masing. Sekarang ini hanya tinggal ninik mamak saja yang mengaturnya. Pembagian berdasarkan jumlah keluaga yang ada, ditetapkan secara rapat adat.
Sistem pengelolaan lahan di Desa Deras Setanjak tidak berbeda dengan desa lain di kawasan Kampar Kiri lainnya. Mereka secara turun temurun mengurus tanah nenek moyang yang telah diberikan oleh adat, sedangkan untuk Desa Sungai Raja, berdasarkan data bahwa kendala yang dihadapi masyarakat selama ini adalah pemerintah mempersulit masyarakat dalam mengurus SKT lahan perkebunannya. Dengan alasan kawasan tersebut merupakan hutan lindung, namun dengan begitu masyarakat tidak bisa menerima alasan tersebut.
Isu Permasalahan Pengurangan Hutan Produksi
Aturan pemerintah pada dasarnya sudah mengatur segalah sistem pengelolaan, baik dari segi pengelolaan dasar hingga keberlanjutan. Namun hal itu terlihat berbeda pada pengaplikasiannya. Pada SK Menhut nomor 640 tentang KPHP Model Kampar Kiri, kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan pengelolaan hutan produksi adalah seluas 143.783 Ha. Kawasan terdiri dari hutan lindung seluas 24.024 Ha, serta hutan produksi terbatas seluas 119.755 Ha. Berdasarkan fakta dilapangan banyak terjadi kerancuan mengenai kawasan yang ditetapkan sebagai KPHP tersebut. Kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung ada yang terletak di tengah-tengah pemukiman masyarakat dan ada juga yang sudah menjadi perkebunan masyarakat.
Tidak berkembangnya pola pikir masyarakat dalam sistem pengelolaan yang kuat menjadi boomerang sendiri dalam pengurangan hutan produksi yang ada. Sebagian luasan hutan telah dijual kepada investor lokal, ataupun luar. Desa Muara Selaya saat ini tidak lagi memiliki hutan yang luas seperti tahun tahun sebelumnya. Berkurangnya jumlah hutan di desa ini dikarenakan oleh semakin banyaknya masyarakat membuka lahan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.
Kuatnya intervensi untuk memiliki serta mengambil sumberdaya yang ada, membuat fungsi hutan beralih, serta juga mengurangi jumlah yang ada. Sistem adat yang ada di Provinsi Riau memang belum kuat seperti di Provinsi lain. Kerapatan adat melemah, aturan adat yang ada tidak mampu memberikan pengaruh dalam pengelolahan hutan produksi di kenagarian adat yang ada di sekitar hutan. Sehingga peran ninik mamak di dalam intervensi pengelolaan lahan jadi berkurang.
Pengelolaan hutan produksi berbasis kerapatan adat, sebenarnya merupakan salah satu cara yang tepat. Selain menguatkan struktur kepemilikan lahan, juga menjaga wilayah dari intervensi luar yang hanya ingin mengeksplor sumberdaya alam yang ada. Namun, bukan hanya karena rendahnya mind set, tetapi juga tidak benar-benar diakuinya sistem kerapatan adat ataupun kenagarian.
Gambaran tersebut secara keseluruhan, terlihat nilai pengelolaan hutan produksi Kampar Kiri sangat produktif dilakukan dengan cara kerapatan adat. Hal tersebut menunjukan bahwah tingkat keberlanjutan hutan termasuk ke dalam kategori sempurna dan terjaga dari beberapa dimensi keberlajutan hutan produksi, keberlanjutan pengelolaan hutan dengan sistem kerapatan adat masih dapat memenuhi, yaitu dimensi ekonomi, social dan keberlanjutan lingkungan hutan. Dimensi yang paling rawan adalah lingkungan dan intervensi luar, yang akan mengurangi luas jumlah hutan.
Tulisan ini sebagai dedikasi dari Seorang Volunteer Hutan.
By MEYZLD & EHD
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H