Â
Â
"Tidak ada yang fair, dalam cinta dan peperangan"
Hukum untinitas senjata adalah mereka yang melarang untuk memakai lengan, melucuti senjata mereka hanya yang tidak dibuang untuk melakukan kejahatan yang hukum berarti untuk mencegah. Apakah bisa seharusnya, bahwa mereka yang memiliki keberanian untuk melanggar hukum yang paling suci umat manusia. Namun ada hal yang menarik untuk dibahas di Suatu kampung di Pelosok Papua Barat yakni, Inawatan. Dimana di tempat tersebut masih mengadopsi senjata tradional, bukan hanya dapat diproyeksikan untuk kepentingan berburuh, tetapi juga dapat menjadi alat perang dan membunuh.
Sebagian masyarakat pedalaman Papua Barat masih mengenal busur dan panah, sebagai salah satu alat yang sangat dibutuhkan dalam waktu dan kondisi tertentu. Ada beberapa jenis panah yang terdapat di pedalaman papua, kampung Inawatan Distrik Kais Tapuri Kabupaten Sorong Selatan. Alat yang sangat familiar ini, mereka sebut dengan nama panggilan Panah ataupun Jubi. Dalam pola bahasa daerah yang kuat, Panah dapat diartikan jubi yang berfungsi sebagai senjata terdahulu.
Panah adalah merupakan salah satu senjata utama khas suku-suku yang ada di Papua. Senjata tradisional busur dan panah ini digunakan untuk berburu dan berperang. Busur tersebut dibuat dari bambu atau kayu, sedangkan tali Busur terbuat dari rotan. Anak panahnya terbuat dari bambu, kayu atau tulang kangguru. Karena bahan-bahan busur dan panah yang terbuat dari alam, maka diperlukan keahlian khusus untuk menggunakan senjata tradisional tersebut.
Hal terpenting yang akan dibahas, bukan dari sisi fungsinya yang sesederhana itu. Masyarakat suku Bira Kaswari yang berkembang di daratan Distrik Kais Tapuri, memilih menggunakan alat tersebut untuk berburuh babi, burung dan rusa. Seperti diketahui dari fungsi Panah juga sebagai alat berperang. Peperangan yang mengharuskan mereka untuk menyerang dan membunuh.
terutama pada daerah yang rawan konflik antara sesama masyarakat ketika terjadi perebutan wilayah penangkapan dalam sektor perikanan maupun dalam konflik pengelolaan sumberdaya alam lainnya. Perlu diketahui selain sumberdaya laut yang melimpah, sebagian besar masyarakat di Kampung Yahadian juga memiliki kekayaan alam lainnya. Hal ini terkadang menyebabkan masyarakat lainnya harus memanfaatkan kekayaan alam di daerah milik atau hak dari marga masyarakat Yahadian.
Konflik tersebut kerap kali menimbulkan kekerasan antar individu yang kemudian cendrungmeluas menjadi konflik antar kampung. Menurut penuturan kepala kampung itu sendiri, konflik antar kampung terakhir terjadi pada bulan April 2016, dimana wilayah petuanan masyarakat diganggu oleh masyarakat dari luar kampung. Tidak sampai disitu saja, adu mulut yang memicu kontak fisik terjadi. Namun, biasanya kepala kampung, kepala adat lekas meredakan konflik dengan berinisiasi melakukan rekonsiliasi. Sebelum Panah keluar dan jatuhnya korban dari salah satu kelompok masyarakat.
Sebelumnya perlu dibahas hal terkait Petuanan atau dikenal hak wilayat, mengacu kepada eksklusivitas kelompok masyarakat adat tertentu dalam pemanfaatan sumber daya alam yang ada wilayahnya. Mengingat semberdaya mereka sama yakni sama sama memiliki kekayaan alam yang berlimpah. Tentunya ruang hidup wilayah adalah area yang sangat vital bagi mereka untuk menyambung hidup. Oleh karena itu konflik atas sumber daya alam terkadang tak terelakkan. Disinilah, peran dari Panah mulai keluar.
Panah yang awalnya difungsikan hanya untuk membunuh burung, babi dan rusa, mulai beralih fungsi menjadi alat berperang yang menakutkan. Bagaimana tidak alat ini bertransformasi menjadi sarana yang dapat membunuh, menyerang lawan yang memberikan ancaman pasti kepada mereka, kepada kampung mereka, serta kepada hak wilayah hidup mereka. Seharusnya ini tidak boleh terjadi lagi.