Bukan suatu hal yang biasa, Ini budaya yang luar biasa terjadi. Setiap orang berbondong bondong untuk membantu sesama, memberikan hak mereka kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Terasa naluri kebaikan disini, berbagi tenaga untuk mendapatkan materi yang diberikan kepada orang lain. Pada artikel sebelumnya penulis menggambarkan tradisi tolak motor Pulau Panambulai Desa Warabal, dimana sebuah tradisi masih dipertahankan tak pernah lekang oleh waktu. Pada artikel selanjutnya penulis ingin berbagi cerita tentang kebiasaan yang dilakukan berulang ulang, dimana dengan berjalannya waktu membentuk suatu unsur kebiasaan atau lebih tepatnya kultur dasar masyarakat Pulau Panambulai. Kultur yang jarang terlihat di sudut Indonesia lainnya yaitu, budaya gotong royong untuk membantu pendidikan masyarakat desa.
Kenyataan ini terlihat, saat berada enam bulan di sana. Bermula, pada kisah seorang anak asli kampung Warabal yang sedang menempuh pendidikan tinggi di Kabupaten Fak Fak Papua Barat. Pada saat itu, dia dan keluarganya mengunjungi kampung tersebut, dengan menggunakan perahu ketingting. Selama menempuh perjalanan aku sempatkan bercerita leluasa dengan keluarga tersebut, sambil menikmati perjalanan dua belas jam menuju pulau kecil di lautan Aru. Dalam sebuah topik, bapak dari anak tersebut mengatakan “sudah lama tidak pulang kampung, hampir 8 Tahunan. Sekalian ingin melihat keluarga di sana, juga meminta bantuan pendidikan anak kami” bapak itu mendambahkan. Aku tidak mengerti apa yang dimaksut, serta semakin bingung dengan kata “meminta Bantuan”. Namun pembicaraan terlupakan dengan kuatnya gelombang laut Aru.
Setelah sampai di daerah tersebut, seperti biasa. Penulis menjalankan tugas yang telah diberikan, sembari berbaur dengan masyarakat setempat. Terlihat tingkat pendidikan tentu menjadi permasalah utama di daerah perbatasan Indonesia, sama halnya dengan Desa Warabal Pulau Panambulai. Hanya sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di sana, itupun sekolah menengah tersebut baru mulai beroperasi tahun 2016. Untuk mengatasi permasalah tersebut, masyarakat biasanya harus melanjutkan sekolah ke kota. Cara ini terlihat sangat tepat, namun tentu membutuhkan biaya tambahan untuk merealisasikannya.
Suatu waktu terdengar sebuah informasi bahwa akan ada sebuah proyek desa yaitu, pembuatan jalan setapak. Proyek ini terdengar biasa, seperti proyek pembangunan desa di tempat lainnya. Pembeda dalam proyek yang akan direalisasikan ini yakni, hasil dari pekerjaan tersebut akan disumbangkan untuk biaya pendidikan. Lebih tepatnya, teryata upah dari gotong royong seperti ini akan diberikan untuk menyelesaikan study anak yang memerlukan bantuan.
Sontak aku teringat dengan sesuatu, pembicaraan di kapal bersama dengan keluarga beberapa waktu yang lalu. Keluarga yang akan anaknya membutuhkan bantuan pendidikan. Keluarga tersebut telah membicarakan kepada seluruh masyarakat desa, masyarakat desa bersama sudah sepakat membantu. Karena kebetulan ada proyek pembuatan jalan setapak yang akan direncanakan. Masyarakat telah sepakat merencanakan sebagian uang dari hasil pekerjaan akan digunakan untuk menyelesaikan pendidikan keluarga yang membutuhkan bantuan tersebut. Pembagian menggunakan cara sederhana yakni, setengah dari hasil pekerjaan akan diproyeksikan untuk kebutuhan bantuan. Dengan catatan keluarga yang membutuhkan bantuan, harus menyediakan konsumsi saat pekerjaan berlangsung.
Teryata cara ini telah digunakan oleh masyarakat sejak puluhan tahun yang lalu, cara untuk membantu sesama melawan kesulitan pendidikan yang terjadi. Melalui mufakat, masyarakat bersama sama melakukan bantuan secara berkelanjutan. Biasanya keputusan diambil, persis dalam beberapa hari setelah ada keluarga pemohon meminta langsung kepada masyarakat. Jika tidak ada pekerjaan pembangunan di desa seperti jalan setapak ini, masyarakat akan menggunanakan cara lain. Bukan hanya pekerjaan pembangunan, tetapi juga pekerjaan laut seperti, menangkap ikan, menangkap kraka (kepiting bakau) dan juga menyelam mutiara dilakukan masyarakat. Semua ini dilakukan untuk meningkatkan sumberdaya manusia, khususnya di daerah tersebut. Apabila saat perlu bantuan masyarakat tidak memiliki pekerjaan, biasanya masyarakat akan melakukan iuran perumah dari tabungan untuk memenuhinya.
Tradisi ini telah membantu menyelesaikan pendidikan beberapa anak dari kampung Warabal. Tidak ada kreteria khusus mayarakat yang dibantu, untuk mendapatkan bantuan dengan cara ini. Biasanya bantuan terjadi, disaat masyarakat yang sedang menempuh pendidikan SLTA ataupun Kuliah yang mengalami kesulitan biaya. Terkhusus untuk mereka yang sedang mengalami masa akhir pendidikan perkuliahan, karena notabene memerlukan uang yang banyak. Bantuan dapat berupa uang, diberikan langsung kepada yang bersangkutan.
Masyarakat tidak ada menuntut sesuatu setelah mereka membantu, bahkan tidak ada sebuah perjanjian antara masyarakat, setelah mereka menyelesaikan pendidikannya. Masyarakat juga tidak berharap agar mereka bekerja dikampung, semua tergantung mereka yang dibantu. Hanya sebuah hegemoni kebanggaan yang bisa disematkan dalam hati mereka, bahwa aka nada masyarakat dari kampung tersebut dapat menyelesaikan pendidikan tinggi. Suara masyarakat kampung oleh Dami Mangara “Akan ada sarjana dikampung kami yang bisa dilihat oleh anak anak, agar mereka termotovasi untuk bersekolah setinggi tingginya. Terdengar seperti suara optimis untuk pendidikan yang terbaik, di kedepan nanti
Sebagai pesan moral nyata bagi kita semua, bahwa kita harus bersama sama untuk pendidikan yang lebih lagi. Bukan saling menyaingi siapa yang terbaik, tetapi saling membantu, mendukung, memotivasi sesama pada bidang bidang keahlian masing masing. Agar kebaikan pendidikan berkontribusi terhadap kemakmuran, kita semua. Indonesia raya.
Herulaut
@